Thursday, October 3, 2013

Blogger Tolak UU ITE

Sebenarnya penolakan para blogger terhadap UU ITE, terutama pasal 27 ayat 3 bukan lagi hal baru. Semenjak mulai didengungkannya "prototip" UU ITE yang kala itu bernama RPM Konten, atau Rancangan Peraturan Menteri mengenai Konten Multimedia, yang kemudian ditolak, banyak blogger Indonesia yang sudah mulai waspada dengan adanya ancang-ancang pembelengguan kebebasan berbicara di internet.

Tidak bisa disangkal bahwa internet telah menjadi sebuah wadah bagi mereka yang selama ini merasa aspirasinya tidak pernah disuarakan. Hanya saja sayangnya, sebagai sebuah negara yang penduduknya baru saja melek dengan internet, kebanyakan orang masih suka seenaknya melempar pendapat ke dunia maya, tanpa mengetahui dampak yang diakibatkannya. Saya sempat berpikir apabila tujuan dibuatnya peraturan mengenai aktivitas di dunia maya ini dibuat untuk melindungi para pengguna internet yang baru melek dari bahaya maka mungkin saja tidak terlalu buruk.

Yang saya bayangkan mengenai undang-undang internet adalah misalnya, perlindungan kepada anak di bawah umur dari situs-situs pertemanan yang sebenarnya ditujukan untuk kegiatan berinteraksi orang yang sudah cukup dewasa dan dapat bertanggung jawab mengenai informasi yang mereka sebarkan sendiri, demi menjauhkan anak-anak tersebut dari predator yang sengaja memancing anak-anak di bawah umur melalui situr-situs tersebut. Yang saya bayangkan mengenai undang-undang internet adalah misalnya, perlindungan kepada pengguna internet dari cyber bullying, dan perlindungan anonimitas pengguna internet dari human search engine.

Hanya saja, sayangnya hingga saat ini, undang-undang internet sepertinya hanya terfokus pada pemblokiran beberapa website dewasa, dan penuntutan pencemaran nama baik di internet. Yang terakhir ini yang menjadi kekhawatiran bagi para netters di Indonesia. UU ITE pasal 27 ayat 3 itu dinilai oleh banyak pihak sebagai pasal karet yang pada akhirnya akan mengekang kebebasan berbicara dan berpendapat di media sosial.

Pasal ini telah beberapa kali memakan korban. Yang terbaru adalah kasus @benhan, salah satu pengguna twitter yang dilaporkan karena dianggap telah mencemarkan nama baik salah seorang politikus yang pernah diduga terkait dengan kasus Bank Century. Bayangkan saja, untuk menulis satu kalimat terakhir tadi, saya membutuhkan lima kali edit supaya saya tidak dikira sedang mencemarkan nama baik seseorang.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, UU ITE ini juga dapat mencatut mereka yang sedang berkeluh kesah atau curhat di ruang privat. Misalnya, kasus email Prita yang pernah diberitakan besar-besaran di media pada waktu itu. Email seyogianya adalah ranah personal. Email itu menjadi santapan publik gara-gara ada orang yang menyebarkan email tersebut kepada orang-orang lain. Prita tidak pernah dengan sengaja melakukan protes terbuka, melainkan bercerita mengenai apa yang terjadi dengan dirinya di dalam email tersebut. Sungguh sangat menyeramkan apabila hal tersebut membuat dia dituntut atas pencemaran nama baik.

Analoginya dalam dunia non-digital adalah, pada saat anda curhat dengan sahabat anda di sebuah kafe mengenai rambut anda yang mengalami salah gunting di sebuah salon, sahabat anda menceritakannya kepada semua teman-teman kantornya sambil mencantumkan nama anda. Lalu teman-teman sahabat anda menyebarkannya kepada seluruh keluarga dan kolega mereka. Lalu keluarga dan kolega mereka kepada teman-teman arisan mereka. Kemudian beberapa hari kemudian, anda mendapatkan surat panggilan dari pengadilan sebagai saksi atas pencemaran nama baik yang anda lakukan terhadap salon ini.

Atau saat anda menulis diary dan bercerita mengenai betapa tidak enaknya makanan di sebuah restoran. Seseorang menemukan diary anda beserta tanda tangan anda di akhir tulisan kemudian memfoto-kopinya tanpa seijin anda dan membagi-bagikannya sebagai selebaran di jalan. Kemudian sejurus kemudian, anda ditangkap karena diduga telah melakukan pencemaran nama baik terhadap restoran tersebut.

WOW.

Kalau analogi itu terdengar terlalu absurd buat anda, mungkin anda bisa coba bayangkan apabila status facebook atau path anda, atau status Whatsapp atau BBM anda, yang seharusnya hanya bisa dibaca oleh teman-teman anda, di screenshot seseorang lalu disebarkan. Dan kemudian anda mendapatkan panggilan dari pengadilan karena telah dianggap mencemarkan nama baik. Jangan kira hal ini tidak mungkin terjadi... Baru bulan lalu Muhammad Arsyad, ditangkap karena dianggap melakukan pencemaran nama baik gara-gara BBM statusnya menyebut nama politikus yang diduga melakukan korupsi.

Apakah UU ini harus dihilangkan? Saya rasa iya. Atau setidaknya direvisi sehingga tidak lagi dapat digunakan secara sewenang-wenang oleh pihak-pihak tertentu. Saya rasa undang-undang mengenai pencemaran nama baik dan tindakan tidak menyenangkan sudah cukup apabila tujuan UU ITE hanyalah untuk mencegah orang menjelek-jelekkan seseorang atau suatu institusi di ruang publik. UU ITE ini dibuat hanya untuk mencabut gigi dan memotong taring jurnalisme warga (citizen journalism) yang kadang kala lebih berani dan lebih objektif karena tidak ditungganggi oleh kepentingan politik.

Saya hanya berharap supaya kebebasan warga untuk berpendapat di ruang publik tidak dibungkam hanya karena alasan-alasan politis. Kalau politisi takut dicaci di social media, ya jangan berbuat aneh-aneh. Gitu aja kok repot...

No comments:

Post a Comment