Monday, January 13, 2014

Suara Rakyat Suara Tuhan?

Baru saja saya selesai menonton debat politik di salah satu stasiun televisi swasta nasional, yang ceritanya sedang memperdebatkan apakah salah seorang tokoh yang elektabilitasnya sedang naik pada saat ini cocok untuk menjadi seorang presiden. Dari satu pihak mengatakan bahwa "kenapa tidak?" sedangkan di pihak yang lain mengatakan "mengapa harus beliau yang saat ini sedang memangku jabatan publik, sedangkan masih banyak calon lain yang mungkin sama berkualitasnya, hanya kurang eksploitasi media saja?". Bagi saya keduanya tidak masalah. Yang saya permasalahkan hanyalah satu.

Salah seorang pembicara di debat politik ini dulunya adalah seorang aktor kawakan. Bukan hanya aktor kawakan, beliau juga terkenal dengan kasus narkoba yang menbuat beliau pernah dipenjarakan. Saya tidak terlalu tahu apa kapasitas orang ini diundang untuk berbicara di forum debat semacam ini. Bukan karena latar belakang beliau saya merasa beliau tidak layak, tapi karena kualitas argumen beliau yang melulu mengatakan bahwa "rakyat ingin begini" dan "rakyat ingin begitu". Rakyat yang mana yang diwakili beliau? Belum lagi klaim beliau bahwa suara rakyat adalah suara tuhan.

Sombongnyaaa...

Padahal adanya debat ini saja sudah menunjukkan bahwa suara rakyat itu tidak satu.

Lalu apa maksudnya bilang suara rakyat adalah suara tuhan? Apa maksud si has-been ini tuhan yang beliau percaya itu sedang galau, makanya suaranya terpecah belah? Atau maksudnya adalah orang yang bukan mayoritas (menurut survey yang digunakannya untuk mencatut "suara rakyat") itu tidak dihitung sebagai rakyat? Atau dia sedang teler lagi (maaf ya, saya hanya mempertanyakan. Boleh dong nanya?)

Saya rasa konsep suara rakyat suara tuhan ini agak berbahaya.

Saya setuju dengan pendapat salah seorang budayawan yang lumayan aktif berkomentar mengenai keadaan politik di Indonesia. Menurut budayawan ini, sangat berbahaya kalau kita mendasarkan pilihan benar salah sesuai dengan suara mayoritas. Pertanyaan beliau sungguh menempel di kepala saya:

"Bagaimana mungkin kita menggantungkan nasib negara ini di tangan rakyat, sedangkan di negara ini rating tertinggi program televisinya adalah acara-acara tidak bermutu?"

Kekhawatiran ini sungguh masuk akal bagi saya.

Rakyat kita mungkin sudah cukup cerdas untuk mengetahui politisi abal-abal yang cuma banyak ngiklan saat kampanye dan kemudian beli suara saat pemilihan. Tapi apakah mereka sudah cukup cerdas untuk mengetahui mana yang programnya sesuai dengan kondisi negara ini? Apakah mereka sudah cukup cerdas untuk melihat mana yang disetir kepentingan pribadi, mana yang disetir keinginan partai, atau mana yang maju untuk balik modal? Tidak... tidak...

Rakyat yang suka nonton sinetron ini akan keblinger dengan figur. Sama seperti bagaimana mereka dibikin keblinger dengan sosok protagonis sinetron kita, mereka akan terbius oleh karakter yang diberitakan positif oleh media setiap hari. Masyarakat kita doyan drama, doyan pahlawan yang tertindas, berilah satu figur macam itu di media, rakyat akan berbondong mencoblosnya. Tahun 2004 itu buktinya.

Eh lalu si mantan seleb ini angkat bicara lagi, bahwa tokoh yang dia dukung saat ini adalah antitesis dari tokoh yang lampau. Saya jadi mengerenyitkan dahi.

Kalau rakyat indonesia ini sudah cerdas benar seperti kata beliau, maka tidak ada lagi pengkultusan figur seperti yang beliau lakukan. Mau dia sama atau kebalikan dari tokoh yang sekarang, yang penting adalah program kerjanya, bukan?

Tapi ah, apa sih pentingnya saya bicara panjang lebar. Toh suara saya belom tentu dianggap suara rakyat...