Thursday, October 31, 2013

Ahok dan Hatta Awards...

Wakil Gubernur DKI Jakarta, yang juga merupakan mantan Bupati Belitung, Basuki Tjahaja Purnama telah dianugerahi penghargaan Hatta Award. Penghargaan itu diberikan kepada pria yang terkenal dengan gaya bicaranya yang keras dan tanpa tedeng aling-aling itu karena perlawanannta terhadap praktek korupsi. Gayanya yang terbuka dan transparansinya kepada publik mengenai harta yang dimilikinya membuatnya menjadi salah satu pahlawan anti korupsi di Indonesia pada saat ini. 

Lalu apa tanggapan Ahok mengenai pemberian awards ini?

Dalam wawancaranya di Mata Najwa, Ahok mengatakan bahwa sebenarnya menjadi pejabat yang jujur itu tidak perlu diberi award. Mengapa? Menurut Ahok, memang sudah seharusnya pejabat pemerintahan itu berlaku jujur. Ahok mengatakan bahwa seharusnya pejabat jujur itu biasa saja karena pejabat itu saat dilantik sudah bersumpah untuk berlaku jujur dalam bekerja. Memiliki pejabat jujur seharusnya tidak perlu dirayakan. 

Akan tetapi, menurut pria keturunan Tionghoa itu, di negara seperti di Indonesia ini, dia perlu menerima penghargaan yang dianugerahkan kepadanya itu. Bukan karena dia ingin pamer bahwa dia adalah pejabat jujur, akan tetapi untuk memberikan moral boost kepada bangsa Indonesia bahwa ternyata masih ada pelayan rakyat yang mengabdi dengan sungguh-sungguh. Bukan karena dia ingin sok suci, namun untuk memberi contoh juga kepada pejabat yang ingin bersih, dan memberikan perlawanan kepada yang tidak ingin bersih.

Ini membuat saya sedikit gembira. 

Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat kepada Pak Ahok untuk penghargaan yang diterimanya. Saya gembira mengetahui bahwa selain Pak Ahok, masih ada orang-orang lain yang juga menerima penghargaan ini atas usaha mereka membersihkan pemerintahan di negara kita ini. Berkat orang-orang semacam mereka, negara ini masih ada secercah harapan.

Namun, saya setuju dengan beliau bahwa penghargaan ini sebenarnya tidak perlu dilakukan. Adanya penghargaan seperti ini menunjukkan seolah-olah pejabat yang bersih itu adalah oknum, dan yang mayoritas dan yang dianggap biasa itu adalah pejabat yang korup. Itulah yang membuat kegembiraan saya agak sedikit tercemari. Saya berharap sepuluh tahun lagi setidaknya, penghargaan ini sudah tidak dibutuhkan lagi. 



Monday, October 28, 2013

Hey Kamu Yang Masih Muda...



Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia

Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

Kamu Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Ingatkah dengan tiga baris pernyataan itu?

Selamat hari sumpah pemuda semuanya.

Monday, October 21, 2013

Hanya Ide Saja...

Anda seorang politisi? Atau seorang figur publik?

Ingin suara anda didengar oleh rakyat? Atau ingin kata-kata anda diperhatikan oleh masyarakat Indonesia?

Ingin komentar anda mengenai suatu hal terdengar brilian? Ingin rakyat berhenti mengolok-olok pernyataan yang anda keluarkan di media? Ingin melakukan pencitraan tanpa kelihatan seperti sedang melakukan pencitraan?

Mungkin yang anda butuhkan bukanlah seorang Juru Bicara.

Mungkin yang anda butuhkan adalah ahli komunikasi, seperti saya.

...

Ciptakan, citra baru partai yang nampak cerdas dan berwibawa tanpa salah komen di social media. Tunjukkan pada rakyat Indonesia bahwa anda pun dapat terlihat intelek tanpa harus terdengar seperti VP.

...

Sarjana Komunikasi.

Cerahkan citra publik anda.


Sunday, October 20, 2013

GBHN: Perlu atau Tidak?

Saya mungkin bukan ahli dalam bidang politik. Saya bukan pengamat yang telaten dan saya sering kali menanggapi berita politik dengan tidak objektif. Saya hanya satu semester mempelajari politik di kampus, dan itu saja hanya sebatas dasar-dasar yang membuat saya tidak terlalu buta mengenai dunia politik. Tapi mengenai GBHN saya memiliki pendapat yang cukup kuat. Setidaknya dengan alasan saya sendiri.

Bayangkan sebuah perusahaan besar yang mana pemiliknya tidak lagi berkutat di kursi direksi, melainkan hanya berada di jajaran pemegang saham. Beberapa kali dalam sepanjang hidup perusahaan tersebut akan terjadi pergantian kepemimpinan, dan gaya kepemimpinan. Dan, dalam kepemimpinanya, seorang Dirut akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kemudian akan mempengaruhi sukses atau tidaknya perusahaan tersebut dalam satu tahun kerja. Di akhir tahun, saat tutup buku, Dirut tentunya harus memberikan pertanggungjawaban kepada para pemegang saham, bukan?

Namun, dalam melakukan pengambilan keputusan perusahaan, pergantian kebijakan atau pembentukan kebijakan baru itu, Dirut beserta yang bekerja bersamanya dituntun oleh visi dan misi perusahaan. Dengan tuntunan itu, sesering apapun tampuk pimpinan perusahaan berganti, roda pemerintahan dalam perusahaan itu dapat berjalan dengan stabil di relnya.

GBHN atau yang disebut dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara adalah semacam itu. Ia adalah rel yang menuntun siapapun yang berada dalam tampuk pemerintahan tidak keluar jalur dalam mengambil keputusan atau membuat kebijakan. GBHN akan memberikan batasan-batasan, sejauh apa dan dalam lingkup apa keputusan dapat dan boleh diambil, sehingga satu kebijakan dan kebijakan yang lain tidak akan saling bertentangan. GBHN tentu saja tidak bersifat khusus dan mendetail, namun hanya untuk mengarahkan saja.

Saya rasa para politisi paham betul fungsi GBHN, karena mereka sudah lama berada dan bergelut di bidang itu. Mereka jauh lebih pandai dan lebih berpengalaman daripada saya. Tapi saya merasa, bahwa beberapa yang menolak diaktifkan kembalinya GBHN didorong oleh alasan-alasan yang lebih bersifat politis daripada alasan-alasan lain.

GBHN adalah sebuah ide brilian yang dimunculkan oleh mantan presiden Indonesia, almarhum H.M. Soeharto. Karena beberapa catatan hitam beliau -- yang kemudian terungkap menjelang dan juga setelah lengsernya beliau dari tahta kepresidenan, maka seolah-olah segala sesuatu yang berkaitan dengan Orde Baru adalah buruk. Sehingga pada akhirnya, para politisi partai akan merasa ketakutan untuk mengadaptasi ide yang pernah ada di masa orde baru, karena takut dianggap ingin menghidupkan lagi Orde Baru.

Saya rasa tindakan itu tidak hanya tidak bijaksana, namun juga dapat menghambat perkembangan sebuah negara. Bayangkan apabila sebuah perusahaan mengalami pergantian manajer marketing. Sebuah marketing campaign yang brilian dan sedang berjalan dengan sempurna membawa produk perusahaan tersebut menjadi market leader, mau tidak mau dihentikan karena manajer marketing yang baru ingin membuktikan bahwa dia bisa keluar dari bayang-bayang manajer marketing sebelumnya. Hasilnya anda dapat melihat sendiri di dunia nyata, sebuah perusahaan mi instan tidak lagi menjadi market leader tanpa saingan, bahkan kini harus head to head dengan produsen mi instan yang belum lama berdiri.

Ide bagus adalah ide bagus, tidak peduli dari mana ide tersebut berasal.

Saya rasa GBHN itu adalah ide yang baik. Dengan perencanaan 15-20 tahun ke depan, tidak peduli siapa presidennya maka rencana-rencana brilian yang sudah dibuat dapat segera diwujudnyatakan. Partai-partai politik tidak perlu lagi sibuk mempertahankan posisi sebagai partai penguasa, dan yang oposisi dapat dengan bebas menyatakan oposisinya tanpa takut kemudian dipersulit karena sudah ada garis-garis besar yang menunjukkan ke mana negara ini akan dibawa.

Tolong koreksi saya apabila saya salah. Tapi saya rasa, GBHN perlu diadakan lagi, biar tidak bingung mau pilih presiden yang mana di tahun 2014 nanti....

Saturday, October 19, 2013

Fakir Miskin Dan Anak Terlantar...

Suatu hari yang cerah, saya dan keluarga sedang dalam perjalanan pulang setelah menikmati makan siang keluarga di sebuah rumah makan di kota. Perjalanan diselingi dengan padatnya jalan terasa menyenangkan, seolah dunia ini adalah tempat yang indah bagi semua makhluk. Di bawah cerah sinar matahari yang tidak terlalu terik berkat awan putih yang memayungi, mobil kami berhenti di sebuah perempatan. Lampu merah menyala, dan sebagai warga negara yang taat hukum, kami menunggu sampai lampu lalu lintas beralih menjadi hijau.

Namun, dalam menit yang panjang itu, seorang wanita berkulit legam karena terbakar matahari, datang untuk mengamen. Yang saya maksud dengan mengamen adalah datang dengan wajah acuh tak acuh, menggoyangkan sebuah alat yang dimaksudkan sebagai perkusi pengiring, dan bercuap sekenanya seolah menyanyikan sesuatu, selama beberapa detik sambil menunggu pengemudi mobil merasa jengah dan memberinya sesuatu. Adik saya yang saat itu mendapat tugas mengemudi melambaikan tangannya, dan segera perempuan itu pergi menuju mobil di belakang kami.

Ayah saya bersungut.

Perempuan itu sehat jasmani. Matanya tidak berkacamata, dan dia cukup kuat untuk berdiri dan berkeliaran seharian di jalan raya, kadang malah sambil menggendong anak kecil. Tubuhnya tidak kurus kering seperti kurang makan, dan wajahnya meski dekil memiliki rona sehat, bukan pucat seperti layaknya orang kelaparan. Dan dari kondisi fisik semacam itu, seharusnya dia bisa bekerja, bukan mengemis.

"Jangan diberi," kata ayah saya. "Sekali diberi, nanti jadi kebiasaan, dan makin lama makin banyak yang cari uang dengan mengemis."

"Tidak diberi pun akan tetap ada yang seperti ini, Pa," adik saya menimpali. "Wong fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, pantas saja mereka tidak habis-habis..."

***

Mekipun saya tidak perlu membela diri saya sendiri, tapi saya merasa saya perlu menjelaskan, bahwa saya tidak anti dengan pengamen. Bukan pengamen seperti pengemis yang saya ceritakan tadi. Yang saya maksud adalah pemusik jalanan yang benar-benar bermusik untuk mendapatkan uang. Saya pernah melihat aksi pemusik jalanan yang membuat band dari alat musik seadanya, menghasilkan musik yang indah dan menghibur. Mereka sopan, dan nampak bersih -- siap untuk tampil. Penonton membayar mereka karena keterampilan mereka memainkan alat musik, bukan karena kasihan atau karena takut mobilnya dibaret dengan paku atau uang receh.

Saya juga keberatan dengan para pengemis yang merasa bahwa para pengemudi mobil sudah selayaknya memberikan mereka sedekah, karena mereka percaya bahwa yang mereka lakukan adalah "pekerjaan halal". Saya pernah mendengar seseorang berkata kepada saya bahwa para pengemis itu merasa bahwa selama mereka tidak mencuri, merampok, menjambret atau melakukan tindak kriminal lainnya, uang yang mereka dapatkan dari mengemis itu halal. Bagaimana dengan pengemis yang membaret mobil orang karena tidak diberi uang? Apakah pemerasan itu termasuk halal juga?

Mengemis adalah pekerjaan orang malas.

Bagi saya tidak ada yang halal dari tindakan manipulatif, memanfaatkan hati nurani orang lain demi kepentingan pribadi. Bagi saya tidak ada pekerjaan yang tidak bisa dilakukan selama seseorang memiliki fisik yang sehat dan tak berkekurangan. Contoh paling mudah, pabrik milik ibu saya selalu membutuhkan karyawan, dan kawan-kawan ibu saya selalu membutuhkan pembantu rumah tangga.

Dan kalau itu tidak cukup, mungkin anda perlu mendengar berita mengenai penolakan pengemis atas tawaran kerja dari Walikota Bandung, Ridwan Kamil.

Ridwan Kamil, Walikota Bandung saat ini berencana untuk menertibkan jalanan di kota yang dipimpinnya dengan meniadakan pengemis. Sebagai solusinya, Walikota menawarkan pekerjaan kepada para pengemis ini sebagai penyapu jalanan, dan menggaji mereka sesuai UMR!! Coba bayangkan, betapa para buruh pabrik akan iri dengan pekerjaan ini. Berapa banyak buruh yang bekerja dengan menggunakan keterampilan seperti menjahit atau bertukang yang dibayar dengan gaji di bawah UMR. Ini para pengemis tanpa keterampilan khusus, ditawari pekerjaan mudah dan digaji sesuai UMR. Dan inilah tanggapan para pengemis:

1. Mereka mendatangi Ridwan Kamil dan menolak pekerjaan tersebut kecuali mereka digaji 10 juta.
sumber:http://news.detik.com/bandung/read/2013/09/30/141830/2373233/486/datangi-ridwan-kamil-pengemis-minta-gaji-hingga-rp-10-juta
2. Mereka protes dan bertanya kenapa Pemerintah Bandung melarang orang untuk bersedekah.
sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2013/10/17/pengemis-bandung-mengapa-melarang-orang-beramal

Saya bahkan tidak tahu harus memulai dari mana untuk menanggapi hal ini. Meminta gaji 10 juta itu apakah masuk akal? Menggaji tukang sapu jalanan dengan UMR saja saya masih bingung dengan perhitungannya, ini minta gaji sama dengan walikotanya. Tapi setelah berhitung-hitung, tentu saja mereka mau minta uang sebanyak itu, karena ternyata penghasilan mereka dari mengemis lebih besar daripada penghasilan mahasiswa S1 yang baru lulus.

Jadi, kalau anda bekerja dengan gaji dibawah 10 juta, pikir-pikir lagi untuk memberikan uang kalian kepada para pengemis ini. Penghasilan mereka lebih besar daripada anda. Mereka tidak butuh uang anda.

Yang kedua, kalau anda ingin beramal, tidak usah beramal langsung kepada pengemis. Datanglah saja ke panti asuhan atau panti jompo, atau kalau anda benar-benar kasihan dengan anak-anak kecil yang dieksploitasi dan tidak diberi makan oleh orang tuanya, beri saja nasi bungkus. Jangan beri uang.

Saya tahu dalam ajaran agama, anda wajib beramal. Tapi anda tidak perlu beramal dengan cara melestarikan pengemis. Fakir miskin dan anak terlantar tidak perlu dipelihara, tapi dinaikkan taraf hidupnya.


sumber:
http://www.tribunnews.com/regional/2013/10/17/ridwan-kamil-penghasilan-pengemis-lebih-besar-dari-gaji-wali-kota
http://regional.kompas.com/read/2013/09/23/0750214/Ridwan.Kamil.Akan.Bayar.Pengemis.untuk.Bersihkan.Bandung
http://www.tempo.co/read/news/2013/10/14/058521649/Digaji-700-Ribu-Pengemis-Bandung-Protes-Wali-Kota

Thursday, October 17, 2013

Golongan Putih...

Beberapa hari terakhir ini, di sebuah milis yang saya ikuti, pembicaraan mengenai golput sedang menjadi topik yang hangat dibicarakan. Beberapa orang yang sebenarnya mendukung seorang tokoh -- namun ragu-ragu apakah tokoh tersebut akan diangkat menjadi calon presiden oleh partai tempatnya bernaung saat ini, merasa bahwa seandainya pada waktu pemilu nanti tokoh tersebut disandingan oleh orang yang tidak tepat atau apabila tokoh tersebut tidak mencalonkan dan calon-calon lainnya dianggap tidak layak, maka golput adalah pilihan yang tepat.

Golput atau golongan putih artinya seseorang yang memiliki hak pilih memutuskan untuk tidak menggunakan haknya.

Bagi yang tidak setuju, golput dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak nasionalis, tidak patriotik. Melepaskan hak pilih di sebuah pesta demokrasi seolah-olah dianggap tidak menghargai dan tidak mengerti betapa penting dan berharganya hak tersebut di negara demokrasi seperti Indonesia. Yang lain beranggapan bahwa saat seseorang tidak menggunakan hak pilihnya maka sama saja dengan membiarkan orang lain menggunakan haknya untuk menentukan keinginan mereka.

Saya sendiri tidak menentang golput. Bukan berarti saya akan golput. Hanya saja saya mengerti kenapa seseorang memilih golput.

Meskipun saya tahu bahwa istilah Golput ini sudah lama ada, namun pertama kali saya akrab dengan istilah golput ini adalah setelah adanya kasus KUDATULI atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli. Mungkin remaja sekarang tidak pernah dengar mengenai kasus ini, mungkin karena pada saat itu mereka belum lahir atau masih terlalu kecil untuk mengerti. Kasus Kudatuli adalah kasus penyerangan dan pengambilan paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro untuk menggeser Megawati Soekarnoputri, pada tanggal 27 Juli 1996. Kasus ini juga berkaitan dengan banyak kasus orang hilang, dan salah satunya ayah dari teman sekelas adik saya di SMP, Fitri Nganthi Wani -- Widji Thukul.

Sejak kejadian itu banyak orang yang memutuskan untuk golput karena mereka tidak mau memilih salah satu dari tiga partai yang ada, pada pemilu yang direncanakan akan digelar pada tahun 1997 (pemilu tersebut dimenangkan oleh Golkar, dan H.M. Soeharto dimandat sekali lagi untuk menjabat sebagai presiden).

Saat itu orang memilih golput tidak sekedar karena tidak tahu mau memilih apa, atau karena muthung lantaran tokoh yang diidamkan tidak ada di daftar calon presiden. Namun sebagai wujud protes sosial, ingin menunjukkan ketidakpercayaan mereka terhadap sistem pada saat itu. Mereka melepaskan hak pilih karena mereka merasa pesta demokrasi sudah ternodai oleh Kudatuli saat itu. Saat itu orang yang memutuskan untuk golput merasa bahwa ikut merayakan pemilu sebagai pesta demokrasi sama saja dengan lupa berkabung dengan kematian demokrasi yang terjadi setahun sebelumnya.

Bagaimana dengan saat ini?

Saya rasa, saat ini orang-orang yang golput tidak sama dengan orang yang golput pada waktu itu.

Mungkin saja masih ada orang yang tetap golput sejak 1997 karena masih melakukan protes yang sama, masih berkabung atas demokrasi di Indonesia, dan menganggap demokrasi di Indonesia belum bangkit dari kubur. Tapi, mungkin saja ada yang merasa bahwa memilih yang terbaik di antara yang terburuk bukanlah pilihan yang tepat, dan tidak mau ikutan bertanggung jawab memenangkan orang yang dianggapnya kelak akan membawa negara ini ke dasar jurang. Mungkin saja ada yang memutuskan untuk tidak memilih hanya sekedar karena tidak tahu siapa yang mau dipilih...

Entahlah...

Saya rasa memilih untuk tidak memilih tetap saja adalah pilihan. Bila seseorang memilih untuk tidak datang ke pesta, atau tidak ikutan makan saat datang ke pesta, apa salahnya?

Hanya saja, pesan salah seorang yang ada di milis tersebut, dan akan saya sampaikan juga kepada semua orang yang membaca artikel ini:

Apabila anda memutuskan untuk melepaskan hak pilih anda, jangan biarkan nama dan kertas suara anda dipakai oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Tetaplah datang ke Tempat Pemilihan Umum di mana anda terdaftar. Daftarkan nama anda, supaya nama anda tidak dapat dicatut. Dan gunakan kertas pilih anda, coblos yang anda mau, atau coblos semuanya supaya tidak sah kalau anda tidak mau memakai hak pilih anda.

Jangan biarkan nama dan kertas anda dipakai oleh orang lain/oknum/suruhan oknum, untuk mendukung calon yang mungkin akan jadi presiden anda.

Sampai bertemu di pesta demokrasi tahun depan :)

Wednesday, October 16, 2013

Maju Tak Gentar Membela Yang Lemah...?

Saya pasti akan dengan segera menuai segala macam caci maki kalau saya memulai artikel saya kali ini dengan mengatakan bahwa saya merasa bahwa maju tak gentar membela yang lemah itu tidak lebih dari sekedar omong kosong yang hanya membawa negara saya ini ke ambang kehancuran. Tapi tentu saja, saya yakin pembaca saya tidak akan serta merta mencaci saya, namun tentu juga ingin tahu kenapa saya mengatakan hal tersebut.

Sejak kecil saya sudah diajari untuk berani membela yang benar. Saya merasa tidak ada salahnya membela orang yang benar, karena kebenaran memang harus selalu dibela. Namun saat saya mendengar politikus atau orang yang dianggap sebagai pemimpin negara mengatakan bahwa mereka ingin membela orang yang lemah, saya hanya mendengus kesal. Kenapa membela yang lemah? Apakah yang lemah selalu benar?

Kalau hukum memihak kepada yang lemah, maka kebenaran akan menjadi kabur. Orang akan dapat dengan mudah memposisikan dirinya sebagai lemah, tak berdaya, dan tertindas, hanya untuk lari dari tanggung jawab dan hukum.

Contoh saja. 

Seorang pengemudi bajai atau becak sedang berada di jalanan, mengambil jalur kiri yang disediakan untuk kendaraan dengan kecepatan rendah. Di sebuah perempatan dia ingin berbelok ke arah kanan, namun karena becak atau bajainya tidak memiliki lampu indikator yang menunjukkan ke mana dia akan berbelok maka dia langsung saja berbelok, seolah jalanan hanya miliki dia. Sebuah mobil mewah dengan biru putih mentereng melaju dengan kecepatan sedang, di jalur tengah dan berniat untuk berjalan lurus tidak mengira becak atau bajai tersebut akan melintas di depannya tanpa aba-aba. Becak atau bajai tersebut tertabrak dan terguling, sehingga pengemudinya terluka lumayan parah. 

Pertanyaanya: Haruskah pengemudi mobil mewah tersebut turun menolong? Kalau pengemudi mobil mewah tersebut turun menolong, apakah yang akan terjadi pada dirinya? a. dihakimi massa karena sudah menabrak "yang lemah"? b. dipersulit di peradilan karena (1) oknum hakim tidak berani menyalahkan pengemudi becak atau bajaj (yang sebenarnya salah) karena takut dikira menerima sogok atau (2) bertemu dengan oknum yang sengaja ingin mencari "uang rokok" di luar gaji? atau c. pada akhirnya harus mengajak damai yang ditabrak dan mengganti semua biaya pengobatan dan perbaikan kendaraan, serta menyantuni keluarga yang ditabrak karena pengemudi tersebut tidak bisa bekerja selama beberapa bulan -- meskipun pengemudi mobil mewah tersebut tidak bersalah?

Atau... supaya tidak harus mengalami itu, sekalian saja sogok oknum hakimnya supaya tidak terlibat masalah kini dan nanti?

Atau contoh lain.

Pemerintah kota ingin menggusur pemukiman liar di sekitar bantaran sungai karena pada dasarnya pemukiman liar tersebut adalah melanggar hukum. Pemukiman liar di bantaran sungai tidak hanya akan menyebabkan penumpukan sampah rumah tangga di sungai yang pada akhirnya menyebabkan banjir YANG MERUGIKAN SELURUH WARGA KOTA, namun juga mempersulit akses petugas yang ingin membersihkan atau merawat sungai tersebut. Maka pemerintah kota meminta para pemukim YANG TIDAK MEMBAYAR PAJAK BUMI DAN BANGUNAN itu untuk pindah baik-baik, dan bahkan disediakan pemukiman pengganti, yang bersih, dan sehat dan bebas banjir. Warga kota protes, dan meminta ganti rugi yang jumlahnya konyol, dan menuduh pemerintah tidak membela yang lemah.

Pertanyaanya: Haruskan pemerintah tersebut tunduk pada suara mereka "yang lemah"? Haruskah pemerintah mengorbankan kenyamanan warga kota yang lain, yang juga berhak mendapatkan air bersih dan juga kota yang bebas banjir, demi mengabulkan pemukim liar ini? Ataukah pemerintah menangkap dan memenjarakan para pemukim liar yang seenaknya ini karena notabene mereka sudah melanggar hukum dengan mendirikan bangunan tidak berizin, dengan resiko dikecam media yang "membela yang lemah"?

Saya tidak suka dengan pernyataan membela yang lemah.

Saat hukum membela yang lemah, maka hukum akan menjadi rawan praktik penyelewengan. Mereka sebenarnya tidak bersalah tidak akan mendapatkan keadilan karena mereka yang "lemah" akan merasa menang karena mereka dapat secara politis menekan pemerintah untuk "membela wong cilik". Sangat mudah bermain sebagai korban dan menuduh orang lain tidak humanis apabila konsep kebenaran tidak dipertimbangkan saat mengambil keputusan. 

Sudah seharusnya hukum ditinjau ulang. Haruskah yang lemah dimenangkan, dan yang benar mengalah demi alasan politis dan praktek pencitraan? 

Tuesday, October 15, 2013

Hello Dolly!

Gang Dolly...

Meskipun saya tidak tinggal di Surabaya, dan saya belum pernah mengunjungi tempat tersebut, nama Gang Dolly cukup familiar di telinga saya. Gang Dolly terkenal sebagai salah satu lokalisasi usaha prostitusi yang cukup terkenal di Indonesia (dan bahkan kabarnya cukup terkenal juga di daerah Asia Tenggara ini). Tapi, akhir-akhir ini muncul berita bahwa Pemerintah Kota Surabaya (walikota Surabaya saat ini) sedang mempersiapkan penutupan lokalisasi Dolly itu.

Pertanyaanya adalah: apakah hal tersebut bijaksana?

Saya tidak akan bicara mengenai orang-orang yang akan kehilangan mata pencahariannya di sana. Tidak sulit untuk menebak bahwa akan banyak usaha yang tutup apabila lokalisasi juga ditutup, meskipun tidak semuanya bekeja di bisnis prostitusi. Banyak penjual makanan minuman, juga mungkin penjual kondom yang akan segera gulung tikar begitu tidak ada lagi pengunjung ke sana untuk mencari hiburan.

Bagi saya, ada masalah lain yang lebih rumit dari masalah mata pencaharian.

Melokalisasi bisnis prostitusi memang dapat dibilang seolah-olah melegalkan praktek perpelacuran. Akan tetapi, dengan menutup sebelah mata akan adanya bisnis syahwat semacam ini, dan melokalisasinya seperti di Dolly ini membuat bisnis dan pertumbuhannya dapat dengan lebih mudah dikontrol oleh pemerintah. Pemerintah juga dapat dengan lebih mudah memberikan penyuluhan mengenai pentingnya kesehatan organ seksual kepada para pekerja seks komersial. Para pekerja juga dapat dengan mudah dideteksi keberadaannya, dan sesegera mungkin dapat diketahui apabila ada kekerasan yang terjadi di sana (mengingat pekerjaan ini sangat rawan dengan tindak kekerasan pula).

Membubarkan lokalisasi saya rasa bukanlah tindakan yang bijaksana.

Membubarkan tempat lokalisasi, tidak menyelesaikan masalah sampai ke akarnya. Membongkar Dolly, bukan berarti membuat para pekerja seks tersebut berhenti melakukan prostitusi. Meniadakan Dolly bukan berarti pelanggan tidak lagi dapat mengontak para mucikari.

Itu hanya berarti para pekerja seks komersial ini tidak lagi dapat mencari makan di Dolly. Mereka bisa berada di mana saja, bekerja pada mucikari gelap dan menjadi pekerja seks panggilan, atau berdiri di pinggir jalan atau di mall menunggu ada yang menangkap kode yang mereka gunakan. Mereka tidak lagi terakses dengan petugas kesehatan, karena petugas tidak lagi tahu harus mencari mereka di mana. Tidak ada lagi penyuluhan, karena sekarang para pelaku prostitusi sudah tersebar entah di mana. Dan lebih lagi... pekerjaan yang pada dasarnya sudah rawan kekerasan itu sekarang makin rawan lagi karena tidak ada lagi kontrol lingkungan.

Apabila alasannya adalah membersihkan lingkungan, dan memperbaiki moral, saya rasa membubarkan Dolly tidaklah relevan. Praktek prostitusi adalah salah satu pekerjaan tertua di dunia, di mana selama masih ada permintaan, maka selalu akan ada supply. Lagipula, saya rasa sudah saatnya pemerintah menyadari bahwa urusan moral dan etika bukanlah urusan pemerintah, apalagi kalau tidak merugikan orang lain. Yang harus diurusi pemerintah adalah pembenahan struktur dan infrastruktur dan juga hal-hal yang menyangkut hukum.

Pembubaran Dolly, saya lihat tidak akan menyelesaikan masalah apapun, dan bahkan hanya akan memperbesar masalah. Dan masalah terbesarnya adalah, tidak ada yang bisa seberapa besar masalah yang ditimbulkan karena penutupan Dolly, karena nantinya semua akan dilakukan secara underground.

Coba pikir lagi.

Saturday, October 12, 2013

Sebelas Tahun Berlalu...

Ya...

Tidak terasa sudah sebelas tahun berlalu semenjak tragedi Bom Bali yang pertama, yang menewaskan ratusan nyawa baik warga negara asing maupun warga negara Indonesia sendiri. Setiap tahun keluarga korban datang untuk memperingati hari di mana saudara, anak, istri, suami, kakak, adik, sahabat, kakek, nenek mereka pergi untuk selamanya. Pelaku sudah ditangkap dan dihukum, keadilan sudah ditegakkan, tapi kerusakan yang sudah terjadi tidak bisa diperbaiki... mungkin untuk selamanya.

Mengenang sebelas tahun Bali Bombing ini membuat saya berpikir. Saya berpikir apakah nyawa ratusan orang ini harus menjadi sia-sia? Dapatkah kita, setidaknya belajar sesuatu melalui kejadian menyedihkan tersebut?

Kalau setelah adanya pengeboman atas nama agama -- yang dilakukan oleh jaringan teroris yang didukung oleh organisasi-organisasi radikal berbasis agama -- ini, pemerintah masih membiarkan ormas-ormas agama melakukan perbuatan anti-toleransi seperti yang terjadi selama ini, bukankah korban-korban pengeboman ini sama saja sudah tewas sia-sia? Bukankah itu sama saja dengan menunjukkan bahwa kita takut pada mereka, dan bahwa ancaman bom yang mereka lakukan ini berhasil membuat pemerintah kita menjadi tunduk terhadap kesewenang-wenangan mereka?

Memang benar sekarang kepolisian melalui pasukan anti teror Densus 88 sudah melakukan pekerjaan sangat istimewa. Melihat dan membaca berita mengenai penggerebekan atau penangkapan para terduga teroris membuat perasaan saya campur aduk, antara merasa takut karena ternyata masih banyak orang-orang yang merasa bahwa mencabut nyawa orang lain itu diperbolehkan oleh agama mereka, dan senang bahwa ternyata para penegak hukum tidak tinggal diam.

Tapi, bagaimana dengan ormas yang terang-terangan melakukan tindak kekerasan di ruang terbuka? Mereka yang terang-terangan menghancurkan lapak orang lain, tanpa memikirkan bagaimana si pemilik lapak dapat menghidupi keluarganya apabila warungnya ditutup. Mereka yang membakar, melempari, dan menyegel tempat beribadah umat beragama lain. Mereka yang tidak tanggung-tanggung merusak bangunan budaya, karya seni, dan juga melarang kegiatan-kegiatan seni tradisional Indonesia karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran salah satu agama saja.

Mengapa mereka dibiarkan?

Bukankah seolah-olah kita membalas "pernyataan" para pengacau radikal yang menggunakan bom untuk mengatakan, "hei, ikuti mau kami atau kami akan mengebom lebih banyak tempat lagi", dengan jawaban "okelah, kami ijinkan buat mengacau dan mengobrak abrik tempat ibadah orang lain, asalkan jangan mengebom lagi".

Saya rasa, pertanggung jawaban kita terhadap para korban Bom Bali yang terjadi sebelas tahun yang lalu, tidak berhenti hanya sampai mengadili dan menghukum orang-orang yang dianggap bertanggung jawab telah menewaskan ratusan nyawa. Kerusakan yang diakibatkan pada kehidupan orang-orang yang ditinggalkan itu permanen. Luka hati yang sudah tertoreh itu tidak akan pernah bisa sembuh selamanya. Pertanggung jawaban kita kepada mereka yang ditinggalkan adalah dengan berjuang supaya orang-orang yang menggunakan tindak kekerasan untuk mencapai tujuan mereka tidak pernah menang,



Bali Bombing

Untuk 202 nyawa yang tidak pernah kembali.
12 Oktober 2002 - 12 Oktober 2013

Wednesday, October 9, 2013

Jokowi for President 2014?

Menjelang pemilu 2014, nama-nama bakal calon presiden sudah mencuat di berbagai media. Dari nama-nama yang sudah veteran di dunia politik seperti Megawati, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Prabowo Subijanto, dan Wiranto; maupun nama-nama yang baru akhir-akhir ini digadang-gadang untuk menjadi pemimpin seperti Gita Wirjawan, Dahlan Iskan, Mahfud MD, Sri Mulyani, Surya Paloh, dan juga Gubernur DKI Jakarta saat ini, Joko Widodo.

Joko Widodo yang juga akrab dipanggil Jokowi ini adalah salah satu nama bakal calon yang selalu mendapatkan angka tinggi dalam beberapa survey calon presiden yang dilakukan oleh berbagai media. Akan tetapi, setiap kali ditanya mengenai hasil survey tersebut, tokoh yang diusung oleh partai berlambang banteng tersebut selalu mengatakan bahwa dia sama sekali tidak berpikir ke arah sana, dan dengan diplomatis putra Solo ini mengatakan bahwa para wartawan sebaiknya bertanya ke Ibu (Megawati) mengenai hal yang bersifat politis, karena Jokowi sedang sibuk mengurusi macet dan banjir ibu kota.

Sebenarnya tingginya respon masyarakat dalam survey ini tidaklah mengherankan. Jokowi dilihat sebagai tokoh yang tidak hanya berani mengambil langkah-langkah yang "melawan arus", namun juga dianggap sebagi tokoh yang mau turun ke jalan dan melihat langsung kondisi yang ada di masyarakat. Beberapa lawan politik terus mengatakan bahwa prestasi Jokowi tidak secemerlang yang diberitakan di media, dan bahwa kepemimpinannya di Solo merupakan sebuah kegagalan karena Solo dianggap sebagai salah satu kota termiskin di Jawa Tengah. Tapi, saya yang tinggal di Solo, kok merasa Solo makin maju saja semenjak Jokowi menjabat, ya?

Fakta-fakta dan kesaksian orang Solo langsung lah yang sebenarnya mendongkrak popularitas Jokowi, terlepas dari berbagai macam statistik yang diberikan oleh lawan politik yang ingin menyerang Jokowi. Hasilnya, bukan hanya rakyat berbalik menyerang, namun popularitas Jokowi malah makin melambung dengan adanya serangan tersebut. 

Tapi, apakah saya akan mendukung Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden tahun depan?

Perasaan saya campur aduk kalau ditanya demikian. Bagaimana tidak?

Sebagai orang Solo yang sudah pernah merasakan kepemimpinan beliau, saya tentu saja ingin seluruh rakyat Indonesia mencoba merasakan itu. Tapi saya merasa bahwa langkah politik tersebut tidak hanya terburu-buru namun juga sangat rawan kejatuhan. Saya merasa pencalonan Jokowi sebagai presiden periode 2014-2019 itu tidaklah bijaksana. 

Saya rasa memang sebaiknya Jokowi menyelesaikan terlebih dahulu masa tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta, selain untuk menambah pengalamannya memimpin dan memperpanjang rekam jejaknya sebagai orang yang dapat dipercaya memimpin, namun juga untuk menunjukkan niat baik dan tanggung jawab dengan menyelesaikan tugasnya sampai habis masa kepemimpinan. Saya juga berharap partai di mana Jokowi berlindung tidak serta merta menggunakan popularitas Jokowi sebagai sarana untuk menancapkan kekuasaan di kursi kepresidenan.

Cuma, saya juga tidak munafik. Apabila Jokowi betul-betul mencalonkan diri, saya tidak yakin saya dapat menahan diri untuk tidak memilih beliau... Hehehe

Thursday, October 3, 2013

Blogger Tolak UU ITE

Sebenarnya penolakan para blogger terhadap UU ITE, terutama pasal 27 ayat 3 bukan lagi hal baru. Semenjak mulai didengungkannya "prototip" UU ITE yang kala itu bernama RPM Konten, atau Rancangan Peraturan Menteri mengenai Konten Multimedia, yang kemudian ditolak, banyak blogger Indonesia yang sudah mulai waspada dengan adanya ancang-ancang pembelengguan kebebasan berbicara di internet.

Tidak bisa disangkal bahwa internet telah menjadi sebuah wadah bagi mereka yang selama ini merasa aspirasinya tidak pernah disuarakan. Hanya saja sayangnya, sebagai sebuah negara yang penduduknya baru saja melek dengan internet, kebanyakan orang masih suka seenaknya melempar pendapat ke dunia maya, tanpa mengetahui dampak yang diakibatkannya. Saya sempat berpikir apabila tujuan dibuatnya peraturan mengenai aktivitas di dunia maya ini dibuat untuk melindungi para pengguna internet yang baru melek dari bahaya maka mungkin saja tidak terlalu buruk.

Yang saya bayangkan mengenai undang-undang internet adalah misalnya, perlindungan kepada anak di bawah umur dari situs-situs pertemanan yang sebenarnya ditujukan untuk kegiatan berinteraksi orang yang sudah cukup dewasa dan dapat bertanggung jawab mengenai informasi yang mereka sebarkan sendiri, demi menjauhkan anak-anak tersebut dari predator yang sengaja memancing anak-anak di bawah umur melalui situr-situs tersebut. Yang saya bayangkan mengenai undang-undang internet adalah misalnya, perlindungan kepada pengguna internet dari cyber bullying, dan perlindungan anonimitas pengguna internet dari human search engine.

Hanya saja, sayangnya hingga saat ini, undang-undang internet sepertinya hanya terfokus pada pemblokiran beberapa website dewasa, dan penuntutan pencemaran nama baik di internet. Yang terakhir ini yang menjadi kekhawatiran bagi para netters di Indonesia. UU ITE pasal 27 ayat 3 itu dinilai oleh banyak pihak sebagai pasal karet yang pada akhirnya akan mengekang kebebasan berbicara dan berpendapat di media sosial.

Pasal ini telah beberapa kali memakan korban. Yang terbaru adalah kasus @benhan, salah satu pengguna twitter yang dilaporkan karena dianggap telah mencemarkan nama baik salah seorang politikus yang pernah diduga terkait dengan kasus Bank Century. Bayangkan saja, untuk menulis satu kalimat terakhir tadi, saya membutuhkan lima kali edit supaya saya tidak dikira sedang mencemarkan nama baik seseorang.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, UU ITE ini juga dapat mencatut mereka yang sedang berkeluh kesah atau curhat di ruang privat. Misalnya, kasus email Prita yang pernah diberitakan besar-besaran di media pada waktu itu. Email seyogianya adalah ranah personal. Email itu menjadi santapan publik gara-gara ada orang yang menyebarkan email tersebut kepada orang-orang lain. Prita tidak pernah dengan sengaja melakukan protes terbuka, melainkan bercerita mengenai apa yang terjadi dengan dirinya di dalam email tersebut. Sungguh sangat menyeramkan apabila hal tersebut membuat dia dituntut atas pencemaran nama baik.

Analoginya dalam dunia non-digital adalah, pada saat anda curhat dengan sahabat anda di sebuah kafe mengenai rambut anda yang mengalami salah gunting di sebuah salon, sahabat anda menceritakannya kepada semua teman-teman kantornya sambil mencantumkan nama anda. Lalu teman-teman sahabat anda menyebarkannya kepada seluruh keluarga dan kolega mereka. Lalu keluarga dan kolega mereka kepada teman-teman arisan mereka. Kemudian beberapa hari kemudian, anda mendapatkan surat panggilan dari pengadilan sebagai saksi atas pencemaran nama baik yang anda lakukan terhadap salon ini.

Atau saat anda menulis diary dan bercerita mengenai betapa tidak enaknya makanan di sebuah restoran. Seseorang menemukan diary anda beserta tanda tangan anda di akhir tulisan kemudian memfoto-kopinya tanpa seijin anda dan membagi-bagikannya sebagai selebaran di jalan. Kemudian sejurus kemudian, anda ditangkap karena diduga telah melakukan pencemaran nama baik terhadap restoran tersebut.

WOW.

Kalau analogi itu terdengar terlalu absurd buat anda, mungkin anda bisa coba bayangkan apabila status facebook atau path anda, atau status Whatsapp atau BBM anda, yang seharusnya hanya bisa dibaca oleh teman-teman anda, di screenshot seseorang lalu disebarkan. Dan kemudian anda mendapatkan panggilan dari pengadilan karena telah dianggap mencemarkan nama baik. Jangan kira hal ini tidak mungkin terjadi... Baru bulan lalu Muhammad Arsyad, ditangkap karena dianggap melakukan pencemaran nama baik gara-gara BBM statusnya menyebut nama politikus yang diduga melakukan korupsi.

Apakah UU ini harus dihilangkan? Saya rasa iya. Atau setidaknya direvisi sehingga tidak lagi dapat digunakan secara sewenang-wenang oleh pihak-pihak tertentu. Saya rasa undang-undang mengenai pencemaran nama baik dan tindakan tidak menyenangkan sudah cukup apabila tujuan UU ITE hanyalah untuk mencegah orang menjelek-jelekkan seseorang atau suatu institusi di ruang publik. UU ITE ini dibuat hanya untuk mencabut gigi dan memotong taring jurnalisme warga (citizen journalism) yang kadang kala lebih berani dan lebih objektif karena tidak ditungganggi oleh kepentingan politik.

Saya hanya berharap supaya kebebasan warga untuk berpendapat di ruang publik tidak dibungkam hanya karena alasan-alasan politis. Kalau politisi takut dicaci di social media, ya jangan berbuat aneh-aneh. Gitu aja kok repot...