Tuesday, November 26, 2013

Hukuman Untuk Angie

Keputusan hakim Mahkamah Agung yang menambah hukuman untuk mantan Puteri Indonesia yang juga merupakan salah satu terdakwa kasus mega korupsi Hambalang, membuat heboh jagad media. Sebagian mengatakan bahwa keputusan Mahkamah Agung itu sebagai sebuah tindakan penciteraan, mengingat bahwa akhir-akhir ini wibawa penegakan hukum di Indonesia sedang mengalami penurunan sejak kasus mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang terlibat masalah hukum.

Setelah banding yang dilakukan oleh Jaksa KPK ditolak oleh pengadilan tinggi, jaksa yang tidak puas dengan putusan pengadilan Tipikor yang menghukum Angelina Sondakh dengan hukuman empat tahun enam bulan penjara itu membawanya ke tingkat kasasi. Tak disangka, di tingkat kasasi, hukuman yang semula empat tahun itu berlipat hampir tiga kalinya menjadi dua belas tahun, ditambah lagi dengan kewajiban mengembalikan uang negara sebesar tiga puluh sembilan miliar rupiah.

Saya tidak terlalu mengikuti kasus Hambalang ini, sehingga saya tidak terlalu mengerti detailnya. Hanya saja sepanjang yang saya tahu, Angelina Sondakh tidak mendapatkan uang suap sebesar yang "ditagihkan" kepadanya itu. Bahkan, setelah diperiksa, harta yang dimiliki oleh Angelina Sondakh "hanyalah" 6,1 miliar. Darimana dan bagaimana caranya dia harus mengembalikan uang sebesar itu?

Agak tidak masuk akal bagi saya.

Saya percaya bahwa hukum yang berlaku di dalam peradilan di Indonesia ini tidak hanya harus memenuhi rasa keadilan, namun juga rasa kemanusiaan. Saya setuju dengan jaksa KPK yang membawa kasus ini ke tingkat kasasi dan gembira dengan putusan dua belas tahun penjara bagi Angelina Sondakh. Saya juga memahami bahwa hukuman "pemiskinan" yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ini akan sangat efektif memberikan efek jera bagi para koruptor. Tapi menyuruh orang mengembalikan 39 miliar di saat dirinya terbukti hanya memiliki 6 miliar di kantongnya?

Saya jadi kasihan dengan Angie.

Saya merasa hukuman yang diberikan kepadanya, meskipun adil tetapi tidak berperikemanusiaan. Apakah tidak ada pertimbangan bahwa anak-anak Angelina Sondakh dan mendiang Adjie Massaid itu saat ini masih sangat kecil? Mewajibkannya untuk membayar uang yang jelas-jelas tidak akan mampu dilunasinya itu terdengar selain tidak masuk akal juga tidak manusiawi bagi saya. Kalau tujuannya memang memiskinkan dan membuat kapok, ambil saja sisa 6 miliar yang dia miliki, kenapa harus memberikan angka yang tidak mungkin dilunasi?

Pantas saja ada orang yang merasa bahwa putusan MA ini seolah-olah sedang cari muka, di luar mereka yang memuji-muji keputusan yang dianggap berani ini. Hukuman fantastis diikuti dengan angka denda fantastis sepertinya memang sedang memberikan angin segar bagi warga negara yang berharap adanya hukuman yang berat bagi koruptor, tapi bukankah Angelina Sondakh juga masih merupakan warga negara Indonesia? Saya rasa dua belas tahun dan 6 miliar saja seharusnya cukup kalau ingin memberikan hukuman kepadanya.

Saat ini pengacara Angelina Sondakh sedang mengajukan peninjauan kembali ke Komisi Yudisial. Saya harap KY agak sedikit bijaksana, dan tidak hanya ingin mempertahankan "muka" sehingga tidak benar-benar melakukan apa yang sesuai dengan hati nurani mereka sendiri. Semoga Komisi Yudisial tidak menuruti tekanan untuk hanya menghukum tanpa melihat sisi manusiawi seorang warga negara yang bisa berbuat salah. Bagaimanapun, di luar kesalahannya ini Angelina Sondakh pernah berbuat banyak bagi negara ini.

Hanya pertimbangan saja...

Saturday, November 23, 2013

Keluarkan Saja?

Beberapa waktu yang lalu sejumlah siswa dari sebuah sekolah menengah negeri dikeluarkan karena melakukan pembajakan terhadap sebuah bus di Jakarta. Para orang tua siswa melakukan protes karena mereka tidak terima anaknya dikeluarkan dan harus masuk ke sekolah baru. Alasan protesnya beragam, dari yang merasa tidak rela anaknya dicap sebagai pembajak bus, sampai yang merasa anaknya tidak kerasan di sekolah baru karena tidak punya teman.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tidak bergeming, dan mendukung sekolah yang mengembalikan siswa-siswa yang nakal kepada orang tuanya itu. Alasannya sederhana: Sekolah negeri dibiayai oleh pemerintah. Masih banyak anak lain yang membutuhkan sekolah. Daripada menyekolahkan anak-anak yang lebih suka begajulan di jalan, lebih baik membiayai anak-anak yang benar-benar ingin belajar.

Seperti biasa, meskipun terdengar kasar dan keras, saya rasa kata-kata Ahok ini ada benarnya. Tentu saja saya kasihan dengan orang tua anak-anak ini, akan tetapi daripada melakukan protes dan menyalahkan sekolah seharusnya orang tua ini berkaca. Pendidikan moral tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab sekolah. Siswa bersekolah hanya 8 jam sehari, dan sisanya mereka berada di rumah dan bersama teman-teman mereka. Tentu saja sekolah tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan oleh anak-anak ini di luar jam belajar mengajar di sekolah.

Kalau dibilang mengeluarkan anak dari sekolah dikatakan sebagai tindakan kejam, saya rasa tidak juga. Meningkatkan mutu sekolah memang harus dimulai dari hal-hal semacam ini. Coba tengok sekolah-sekolah yang bermutu tinggi. Jangankan siswa yang membajak bus di jalanan, atau tawuran dengan siswa dari sekolahan yang lain-- siswa siswi yang ketahuan mencontek saja bisa dikeluarkan dari sekolah dengan alasan tindakan indisipliner. Sekolah tidak hanya mencetak siswa dengan kemampuan akademis yang membanggakan saja, namun juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak menjadi lebih baik -- dengan kapasitas mereka sebagai pendidik. Anak didik yang tidak mau dididik sesuai dengan kebijakan sekolah ya silakan kembali saja ke orang tua masing-masing.

Saya tidak bisa menahan geli ketika ada seorang penelepon yang mengomentari di media mengenai hal ini mengatakan bahwa anak-anak itu tidak seharusnya dikeluarkan karena mereka seharusnya ditanggung oleh dana BOS. Dana BOS? Anak-anak itu tidak peduli dengan dana BOS. Mereka bahkan tidak ingin belajar. Mereka ingin di jalan dan menjadi preman, membajak bus bersama teman-temannya.

Saya tidak bisa menahan kesal ketika seorang dari komisi perlindungan anak mengatakan bahwa seharusnya sekolah memberikan pendidikan kepada anak tersebut. Lalu ke mana orang tuanya? Lepas tangan?

Saya tidak ingin anak-anak Indonesia seperti anak-anak luar yang kurang ajar karena orang-orang seperti aktivis anak ini ikut campur dalam urusan sekolah. Di Inggris sana anak-anak dapat dengan leluasa memaki guru atau staf sekolah karena mereka tidak bisa dihukum. Mereka tidak boleh lagi dihukum lari keliling lapangan biar kapok, atau jongkok bediri di depan kelas biar malu. Mereka tidak boleh lagi dijewer atau dicubit, katanya itu kekerasan pada anak. Anak-anak itu tahu bahwa orang tua mereka bisa dihukum masuk penjara kalau menampar anak, meskipun anak itu sudah bicara kurang ajar kepada orang tua mereka.

Melenceng sedikit dari topik memang, tapi saya rasa saya sudah sampai pada intinya. Saya percaya bahwa sistem pendidikan negara ini masih butuh untuk keras kepada anak, tidak untuk menyakiti tapi untuk memberikan pendidikan yang tegas dan bisa dipercaya untuk membentuk kepribadian anak menjadi orang-orang yang waras dan tangguh. Jadi, anak-anak yang membajak bus bagaimana? Keluarkan saja. Anak-anak yang suka tawuran bagaimana? Keluarkan saja. Mahasiswa yang tawuran sampai membakar kampus sendiri? Kalau mereka kan sudah dewasa, laporkan saja ke pengadilan biar dipenjara karena tindakan pengerusakan.

Thursday, November 21, 2013

Denda! Denda! Denda!

Akhir-akhir ini media menyorot kebijakan mendenda yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta. Setelah mereka menetapkan ketentuan untuk memberikan denda sebesar lima ratus ribu rupiah bagi pengendara motor dan satu juta rupiah bagi para pengendara mobil yang menggunakan jalur busway, kini pemerintah provinsi juga menetapkan denda mulai limaratus ribu sampau lima puluh juta rupiah bagi siapapun yang membuang sampah sembarangan.

Kebijakan untuk memberikan denda kepada para pelanggar hukum ini sudah jelas tujuannya. Kemacetan jalan raya dan juga banjir adalah sebuah fenomena yang terjadi tanpa bisa dihindari di ibu kota Jakarta. Memberikan denda kepada para pelaku pelanggaran diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi ketertiban berlalu lintas dan juga kebersihan lingkungan.

Mengenai besarnya denda, saya merasa jumlahnya sudah tepat. Selain jumlah itu cukup besar untuk memberikan efek jera, jumlah itu tidak terlalu besar sehingga menimbulkan celah untuk jenis kejahatan yang lain, seperti menyogok oknum aparat.

Lalu, apakah pendapat masyarakat Jakarta?

Yang membuat saya tersenyum kecut adalah mereka yang merasa tidak puas dengan peraturan ini. Dari wawancara yang disiarkan di beberapa media, ada saja yang menolak niat baik dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini.

"Kalau dendanya segitu ya terlalu besar," kata seorang sopir angkot yang mengatakan bahwa jalur busway adalah solusinya untuk mengemudi saat jalanan macet.

"Ya kalay dendanya segitu, saya tidak terlalu setuju ya," kata salah seorang penduduk yang bermukim di bantaran sungai Ciliwung.

Bukan ketidak setujuan mereka yang membuat saya miris. Yang membuat saya merasa sedih adalah apa yang saya tangkap melalui bagaimana mereka mengungkapkan ketidaksetujuan mereka. Bila kita menganalisa kata-kata mereka, kita dapat melihat ada apa di balik ketidaksetujuan itu.

Pertama. Siapa yang peduli berapa dendanya kalau mereka tidak berniat untuk melanggar peraturan? Mau dibuat peraturan dengan pemberian denda lima puluh juta atau satu milyar juga tidak ada masalah kalau mereka tidak melanggar peraturan, bukan? Mau diancam dengan hukuman kurungan sebulan atau lima tahun tidak ada bedanya kalau mereka menaati peraturan tersebut, bukan?

Lalu, itu membuktikan apa?

Itu membuktikan bahwa secara mentalitas, masyarakat kita percaya bahwa hukum dapat dibeli oleh siapa pun. Bahwa denda itu bukanlah hukuman untuk pelanggar namun adalah jumlah yang kita bayar untuk membeli kebebasan untuk melanggar. Bahwa mereka berpikir bahwa kalau ada uang mereka bisa seenaknya saja melanggar.

Saya setuju dengan peraturan denda ini. Mungkin untuk sementara jalanan menjadi lebih macet karena sekarang banyak yang ketakutan masuk ke jalur busway. Tapi, saya berharap dengan ditambahnya armada bus trans jakarta, semoga saja para pengendara mobil dan sepeda motor dapat menggunakan bus trans jakarta sebagai alternatif pilihan. Sayangnya memang bus trans jakarta yang ideal untuk transportasi dalam kota ini belum menjangkau sepenuhnya seluruh area yang ada di Jakarta.

Bagi yang masih ingin naik kendaraan pribadi, ya terima saja lah resiko kena macet di musim hujan ini untuk sementara waktu. Perubahan untuk lebih baik kan butuh proses juga, dan salah satu prosesnya mungkin terasa tidak menyenangkan untuk beberapa saat. Saya masih percaya dengan pemerintahan Jokowi-Ahok ini kok...

Wednesday, November 6, 2013

Mental Korban

Pada tahun 2011 Jepang dilanda gempa hebat bernama Tohoku, dan diterjang tsunami yang meluluhlantakkan seluruh negeri. Pada saat itu perekonomian di beberapa daerah lumpuh, gedung-gedung hancur, dan jalanan rusak berat. Banyak korban jiwa, dan tidak terhitung berapa keluarga kehilangan tempat tinggal mereka. Ditambah lagi dengan bocornya nuclear plant yang menyebabkan ketakutan banyak pihak, pada saat itu Jepang sedang dirundung petaka.

Lihat Jepang saat ini. Kalau tidak bisa ke Jepang langsung, cari saja di google dengan keyword: "japan 2 years after tsunami" atau "japan 2 years after tohoku". Di pencarian gambar, kita bahkan bisa melihat perbandingannya, bagaimana kerusakan yang terjadi dua tahun lalu, dan apa yang sudah dibangun saat ini.

Sebagian besar orang akan langsung memuji pemerintah Jepang yang cepat dan tanggap dalam penanganan bencana. Sebagian lagi akan menitik beratkan pujian mereka pada fasilitas transportasi dan teknologi yang dimiliki oleh negeri matahari terbit itu sebagai penyebab cepatnya pembangunan pasca bencana. Tapi bagi saya yang paling hebat adalah mental orang-orang Jepang ini.

Saat seluruh negeri sedang berduka, para korban selamat saling membantu menyelamatkan satu dengan yang lain. Mereka dengan tertib hidup dalam kamp pengungsian. Tidak ada yang mengemis pada pemerintah untuk membantu. Tidak ada yang mencaci pemerintah yang lamban memberikan sumbangan. Tidak ada yang berebut sembako di pengungsian saat bantuan tiba. Semua berbaris rapi, semua tahu bahwa yang lain pun lapar dan ingin cepat-cepat dapat makan. Semua tetap menjaga keteraturan, karena kesadaran bahwa tidak ada gunanya membuat keadaan semakin buruk.

Inilah mental baja yang menurut saya membuat pembangunan di Jepang sedemikian pesatnya. Bukan berdalih tidak memiliki apa-apa sehingga tidak melakukan apa-apa, melainkan mengusahakan dengan apa yang tersisa untuk mengembalikan apa yang hilang. Inilah mental anak-anak matahari yang memiliki harga diri meskipun dalam keadaan yang terburuk. Semua tetap berlaku selayaknya manusia meskipun perut meronta dan kehilangan segalanya dalam terjangan gempa dan tsunami.

Sayangnya, di negeri ini tidak begitu.

Jangankan pada saat kehilangan seluruh harta benda ketika bencana melanda. Bayangkan saja apa yang terjadi pada saat ada pembagian dana BALSEM. Bayangkan saja apa yang terjadi apda saat pembagian daging korban di hari raya Idul Adha. Manusia berubah kelakuannya menjadi seperti binatang merauk mengais mengemis, dan kalau tidak kebagian maka akan menyalahkan, merasa sudah menjadi korban.

Inilah logika orang bermental korban. Biar saya jelaskan.

Pak Ali gajinya 1000 rupiah bisa hidup tenang tiap hari. Suatu hari ada orang datang ke rumahnya mengatakan bahwa pada hari minggu akan ada orang bagi-bagi 2000 amplop uang 50 rupiah di balai kota.
Pak Ali pergi ke balai kota pada hari minggu dan mendapati banyak orang mengantri. Ingin kebagian Pak Ali menjadi buas berebut dengan yang lain. Tapi pada akhirnya Pak Ali tidak kebagian.
Pak Ali protes katanya, dia sudah mengantri tapi tidak kebagian amplop. Menurutnya orang yang membagi amplop itu salah dan dia adalah korban. Lalu mulai merasa bahwa 1000 rupiah yang dimilikinya itu tidak cukup lagi untuk hidup sehari-hari dan seharusnya pemerintah menyediakan lebih dari 2000 amplop.
Pak Ali ingin disedekahi. Pak Ali HARUS disedekahi.

Mungkin anda tidak akan mengerti bagaimana logika itu berjalan, tapi itulah yang terjadi di sini. Tapi bersyukurlah kalau anda tidak mengerti, karena itu mungkin berarti anda tidak punya mental pengemis yang merasa disedekahi itu adalah kewajiban orang yang lebih kaya daripada anda. Karena kalau benar anda tidak bermental pengemis, maka setidaknya negara ini masih ada harapan di masa depan.

Selamat...!!

Sunday, November 3, 2013

Sweeping Demo Buruh

Reaksi pertama saya adalah... Ini orang pada gila ya?

Maafkan reaksi saya kalau terdengar kasar dan berlebihan. Akan tetapi saya masih tidak habis pikir mengapa ada orang yang bisa melakukan hal semacam ini. Dan yang lebih saya tidak mengerti adalah mengapa hal semacam ini dibiarkan saja terjadi?

Sweeping demo buruh.

Yang dimaksud dengan sweeping demo buruh bukanlah aksi anti demokrasi yang dilakukan pemerintah sehingga para buruh tidak lagi bisa berdemo. Sweeping demo buruh adalah tindakan anarkis para pendemo yang melakukan sweeping di perusahaan-perusahaan yang buruhnya tidak ikut berdemonstrasi. Orang mau bekerja kok dilarang?

Saya rasa inilah mental rakyat bawah kita.

Beberapa waktu lalu saat para produsen tahu dan tempe melakukan demonstrasi karena naiknya harga kedelai, serikat pengusaha tahu dan tempe juga melakukan aksi serupa. Mereka merusak dan menghancurkan usaha milik pengusaha tahu dan tempe yang lain, yang tidak ingin ikut berdemo bersama mereka. Tidak ada tindakan apapun yang dilakukan pemerintah untuk menghukum orang-orang yang bertindak anarkis ini. Tidak ada tuntutan hukum yang dilakukan oleh pengusaha yang dirugikan. Padahal jelas-jelas yang mereka lakukan ini adalah tindakan pidana (pengerusakan, tindakan tidak menyenangkan dll).

Orang-orang ini mengatasnamakan demokrasi. Mereka berdemo dan meminta untuk dibiarkan berdemo atas nama kebebasan berpendapat. Mereka ingin dimengerti saat mereka berpendapat bahwa satu-satunya cara untk meningkatkan taraf hidup mereka adalah dengan menuntut kenaikan gaji. Tapi mereka tidak mengerti orang lain (buruh lain) yang berpendapat bahwa daripada berdemo minta naik gaji tapi akhirnya malah kehilangan upah harian, lebih baik bekerja sungguh-sungguh dan dapat gaji betulan. Mereka tidak menghargai orang yang memilih untuk bekerja dengan tenang, supaya perusahaan mereka tidak tutup karena tekanan biaya dan akhirnya malah melakukan PHK besar-besaran.

Kebebasan berpendapat dari mana?

Mereka minta kebebasan berpendapat namun tidak menghargai orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka? Mengatai orang lain kapitalis tapi tidak menyadari bahwa tindakan mereka berdemo dan sweeping semacam ini tidak ada bedanya dengan buruh-buruh pada jaman PKI berjaya dulu? Ya... Mari belajar sejarah lagi, karena saya tidak mau bicara banyak mengenai hal ini. Yang pasti pada jaman PKI dulu, pabrik kakek saya disuruh berhenti produksi karena buruh-buruhnya diharuskan ikut demo oleh serikat buruh yang didukung partai. Ga ada bedanya sama jaman sekarang, kan?

Ini kata saya...

Silakan sweeping, silakan demo. Jangan salahkan perusahaan melakukan PHK besar-besaran.

Yang demo meminta karyawan yang di PHK di pekerjakan kembali, berikan saja pekerjaan kalian pada mereka yang di-PHK kalau kalian mau dibilang setia kawan.

Yang sudah kehilangan pekerjaannya karena perusahaan yang mereka demo sekarang pindah ke Vietnam, silahkan kasih makan anak istri pake angin, karena batu pun sekarang tidak gratis lagi.

Yang takut perusahaanya tutup, berhenti demo. Kerja. Kasih tahu teman-teman kalian yang demo itu supaya tutup mulut. Mau jadi pengangguran jangan ngajak-ngajak, karena kalian punya anak istri dan orang tua yang harus ditanggung.


Salam