Wednesday, November 6, 2013

Mental Korban

Pada tahun 2011 Jepang dilanda gempa hebat bernama Tohoku, dan diterjang tsunami yang meluluhlantakkan seluruh negeri. Pada saat itu perekonomian di beberapa daerah lumpuh, gedung-gedung hancur, dan jalanan rusak berat. Banyak korban jiwa, dan tidak terhitung berapa keluarga kehilangan tempat tinggal mereka. Ditambah lagi dengan bocornya nuclear plant yang menyebabkan ketakutan banyak pihak, pada saat itu Jepang sedang dirundung petaka.

Lihat Jepang saat ini. Kalau tidak bisa ke Jepang langsung, cari saja di google dengan keyword: "japan 2 years after tsunami" atau "japan 2 years after tohoku". Di pencarian gambar, kita bahkan bisa melihat perbandingannya, bagaimana kerusakan yang terjadi dua tahun lalu, dan apa yang sudah dibangun saat ini.

Sebagian besar orang akan langsung memuji pemerintah Jepang yang cepat dan tanggap dalam penanganan bencana. Sebagian lagi akan menitik beratkan pujian mereka pada fasilitas transportasi dan teknologi yang dimiliki oleh negeri matahari terbit itu sebagai penyebab cepatnya pembangunan pasca bencana. Tapi bagi saya yang paling hebat adalah mental orang-orang Jepang ini.

Saat seluruh negeri sedang berduka, para korban selamat saling membantu menyelamatkan satu dengan yang lain. Mereka dengan tertib hidup dalam kamp pengungsian. Tidak ada yang mengemis pada pemerintah untuk membantu. Tidak ada yang mencaci pemerintah yang lamban memberikan sumbangan. Tidak ada yang berebut sembako di pengungsian saat bantuan tiba. Semua berbaris rapi, semua tahu bahwa yang lain pun lapar dan ingin cepat-cepat dapat makan. Semua tetap menjaga keteraturan, karena kesadaran bahwa tidak ada gunanya membuat keadaan semakin buruk.

Inilah mental baja yang menurut saya membuat pembangunan di Jepang sedemikian pesatnya. Bukan berdalih tidak memiliki apa-apa sehingga tidak melakukan apa-apa, melainkan mengusahakan dengan apa yang tersisa untuk mengembalikan apa yang hilang. Inilah mental anak-anak matahari yang memiliki harga diri meskipun dalam keadaan yang terburuk. Semua tetap berlaku selayaknya manusia meskipun perut meronta dan kehilangan segalanya dalam terjangan gempa dan tsunami.

Sayangnya, di negeri ini tidak begitu.

Jangankan pada saat kehilangan seluruh harta benda ketika bencana melanda. Bayangkan saja apa yang terjadi pada saat ada pembagian dana BALSEM. Bayangkan saja apa yang terjadi apda saat pembagian daging korban di hari raya Idul Adha. Manusia berubah kelakuannya menjadi seperti binatang merauk mengais mengemis, dan kalau tidak kebagian maka akan menyalahkan, merasa sudah menjadi korban.

Inilah logika orang bermental korban. Biar saya jelaskan.

Pak Ali gajinya 1000 rupiah bisa hidup tenang tiap hari. Suatu hari ada orang datang ke rumahnya mengatakan bahwa pada hari minggu akan ada orang bagi-bagi 2000 amplop uang 50 rupiah di balai kota.
Pak Ali pergi ke balai kota pada hari minggu dan mendapati banyak orang mengantri. Ingin kebagian Pak Ali menjadi buas berebut dengan yang lain. Tapi pada akhirnya Pak Ali tidak kebagian.
Pak Ali protes katanya, dia sudah mengantri tapi tidak kebagian amplop. Menurutnya orang yang membagi amplop itu salah dan dia adalah korban. Lalu mulai merasa bahwa 1000 rupiah yang dimilikinya itu tidak cukup lagi untuk hidup sehari-hari dan seharusnya pemerintah menyediakan lebih dari 2000 amplop.
Pak Ali ingin disedekahi. Pak Ali HARUS disedekahi.

Mungkin anda tidak akan mengerti bagaimana logika itu berjalan, tapi itulah yang terjadi di sini. Tapi bersyukurlah kalau anda tidak mengerti, karena itu mungkin berarti anda tidak punya mental pengemis yang merasa disedekahi itu adalah kewajiban orang yang lebih kaya daripada anda. Karena kalau benar anda tidak bermental pengemis, maka setidaknya negara ini masih ada harapan di masa depan.

Selamat...!!

No comments:

Post a Comment