Sunday, December 15, 2013

OSPEK

Tahun 2003 saat pertama kali saya kuliah, Indonesia digegerkan dengan kasus kematian salah seorang praja IPDN pada saat sedang menjalani OSPEK. Sepuluh tahun kemudian, kasus kematian mahasiswa karena tindakan semena-mena yang dilakukan oleh senior mereka pada saat OSPEK masih saja terjadi di Indonesia. Mengapa tidak ada perubahan?

Studi menunjukkan bahwa siswa yang pada awalnya mengalami "bully" atau diganggu di sekolah baik itu berupa kekerasan fisik maupun verbal pada akhirnya akan menjadi orang yang melakukan "bully". Itulah mengapa korban-korban OSPEK kemudian menjadi orang yang "kejam" saat melakukan OSPEK, ketika mereka akhirnya memiliki kuasa untuk "meneruskan" apa yang mereka alami beberapa tahun sebelumnya, saat mereka masih mahasiswa baru.

Apabila pihak kampus tidak menghentikan kegiatan ini sama sekali, saya yakin bahwa rantai kekerasan ini tidak akan pernah putus.

Jujur saja, pada awalnya berita ini tidak terlalu menarik bagi saya. Karena saya sempat merasa bahwa hal ini sudah menjadi hal rutin yang terjadi setiap tahun dan tidak pernah akan bisa berubah. Jujur saja saya merasa pesimis dan cenderung apatis mengenai OSPEK ini. Lebih dikarenakan saya dan adik-adik saya tidak ada satupun yang mengalami OSPEK berlebihan semacam itu. Tetapi mendengar rentetan makian dari ayah saya, membuat saya menyadari sesuatu.

Saya belum punya anak.

Bagi orang tua seperti ayah saya, kasus semacam ini benar-benar kebiadaban yang tidak termaafkan. Bayangkan perasaan orang tua seperti ayah saya, yang membayar puluhan juta untuk memasukkan anaknya ke sebuah universitas, berharap agar empat tahun kemudian anaknya lulus dengan gelar sarjana dan menjadi orang yang berguna, kemudian mendapati anaknya pulang tinggal nama karena OSPEK. Bagi orang tua yang anak-anak perempuannya mengalami pelecehan seksual oleh senior-senior mereka selama mengalami OSPEK, bayangkan perasaan mereka saat mengetahuinya.

Bagi orang tua seperti ayah dan ibu saya, OSPEK ini bukanlah acara meneruskan tradisi. Mereka tidak peduli apakah itu tradisi ataupun pelatihan mental. Bagi mereka acara ini tidak lebih dari pembantaian, dan pembunuhan terencana.

Bagi orang tua seperti ayah dan ibu saya, OSPEK semacam ini hanya bisa dilakukan oleh binatang.

Tapi itu juga yang membuat saya tidak mengerti. Mengapa orang tua- orang tua korban tidak memidanakan panitia OSPEK ini? Mereka jelas pasti sudah berumur 18 tahun ke atas, dan mereka sudah dewasa di mata hukum. Pengaduan delik pidana atas tuduhan pembunuhan akan cukup membawa pelaku ke balik jeruji, dan sekaligus memberikan efek takut dan jera bagi generasi berikutnya untuk melakukan hal yang sama lagi.

Pidanakan mereka!

Saya serukan.

Pidanakan para senior yang semena-mena ini. Pidanakan mereka demi generasi yang akan datang. Pidanakan mereka demi orang tua- orang tua korban yang lain. Pidanakan mereka demi semua orang tua di Indonesia. Pidanakan demi semua korban di Indonesia.


Thursday, December 12, 2013

Pelecehan Atau Bukan?

Sedang gonjang-ganjing Badan Kehormatan DPR ingin memanggil Komisioner Penyiaran Indonesia, Agatha Lily untuk dugaan kasus pelecehan yang dialami beliau oleh empat orang anggota komisi I DPR RI yang pada saat itu sedang melakukan fit and proper test. Pertanyaan yang diberikan kepada mereka yang sedang menjalani fit and proper test tersebut dirasa oleh Komnas Perempuan ada yang bersifat merendahkan martabat perempuan. Meskipun demikian, Agatha Lily sendiri merasa bahwa beliau tidak merasa dilecehkan pada saat menjalani ujian tersebut.

Komnas Perempuan melaporkan adanya tindakan pelecehan yang dilakukan oleh empat orang anggota komisi I yang membidangi penyiaran di Indonesia pada saat melakukan fit and proper test untuk anggota KPI. Pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan yang dimaksud adalah yang bersifat personal, seperti apakah mereka sudah menikah atau belum; bahwa beliau cantik, dan pertanyaan mengenai nomer ponsel beliau. Pernyataan dan pertanyaan tersebut dinilai genit.

Pada saat diwawancara, Agatha Lily sendiri mengaku tidak merasa mengalami pelecehan. Bahkan dia merasa ditekan dengan isu pelecehan ini. Beliau pun menanyakan, apakah dibilang cantik adalah bentuk pelecehan.

Saya bisa mengerti apabila yang bersangkutan tidak ingin disebut sebagai korban pelecehan. Dengan posisi beliau, akan sangat tidak menguntungkan apabila beliau diekspos sebagai seorang korban di media nasional, terlebih lagi apabila beliau benar-benar tidak merasa sedang dilecehkan. Saya tidak mengerti juga kenapa komnas perempuan membawa-bawa nama beliau sebagai korban tanpa lebih dahulu berkoordinasi dengan yang bersangkutan.

Saya sendiri tidak bisa dengan hitam-putih mengatakan bahwa sebuah pernyataan atau pertanyaan adalah bersifat melecehkan. Saya tahu ada beberapa orang yang dengan senang hati "digoda", karena merasa itu adalah salah satu bentuk pujian atas kelebihan fisiknya. Tapi saya juga tahu ada orang yang merasa risih dengan pertanyaan maupun pernyataan yang sifatnya berupa pujian fisik. Tidak hanya perempuan, tapi saya juga merasa laki-lakipun sama.

Bayangkan seorang laki-laki, sedang menjalani fit and proper test, dan diuji oleh sebuah tim penyeleksi yang terdiri dari banyak perempuan. Posisikan juga usia laki-laki tersebut lebih muda dan perempuan-perempuan yang melakukan uji kelayakan tersebut jauh lebih matang daripada laki-laki tersebut. Bagaimana jika salah seorang perempuan itu mengatakan: "Kamu tegap sekali, sehari gym berapa jam?" atau "Parfum kamu wangi, Bvlgari Aqva?" atau "Kamu ganteng begitu kenapa belum menikah?"

Apakah itu pujian? Apakah itu pelecehan?

Saya benar-benar tidak bisa mengatakannya.

Apabila saya berada di posisi orang yang sedang diwawancara, saya tentu saja akan merasa tidak nyaman dengan pertanyaanya. Meskipun dengan dalih bercanda, saya akan tetap merasa canggung karena saya merasa saya tidak cukup dekat dengan sang penanya. Bagi saya pribadi, pertanyaan tersebut meskipun tidak menyinggung masih tetap membuat saya merasa jengah. Tapi saya tahu benar bagi beberapa teman saya, pertanyaan semacam itu adalah bentuk apresiasi terhadap jam-jam fitness dan menit-menit di salon. Saya tahu benar bahwa mereka akan dengan perasaan berbunga tersenyum lebar menanggapi pernyataan mengenai betapa cantiknya mereka.

Tapi...

Saya harus menekankan kata "TAPI" ini.

TAPI, di luar apakah pertanyaan itu merendahkan atau meninggikan, mencairkan suasana atau melecehkan, bercanda atau serius, saya merasa pertanyaan tersebut tidak pada tempatnya. Fit and proper test yang dilakukan oleh komisi I DPR RI itu seharusnya adalah wadah formal. Yang dilakukan selama ujian pun seharusnya bersifat resmi sesuai dengan standar. Segala sesuatu yang mereka katakan di dalam ruang ujian harusnya mencerminkan profesionalitas baik sebagai anggota dewan, sebagai anggota komisi I, maupun sebagai calon komisioner KPI.

Seandainya ternyata mereka memiliki kedekatan sebagai teman di luar itu, bukankah ada waktu lain untuk saling melempar canda. Bukankah ada forum lain yang tidak resmi, ruang dan waktu yang lebih personal untuk menanyakan hal-hal yang sifatnya personal?

Saya tidak memutus apakah benar ini adalah tindakan pelecehan atau bukan. Tapi saya merasa bahwa anggota dewan seyogianya memang harus lebih mengasah profesionalitas mereka. Seharusnya mereka bisa membedakan peran sosial apa yang sedang mereka bawa pada saat itu.

Pada saat fit and proper test itu, mereka adalah penguji. Mereka bukanlah teman dari Agatha Lily. Maka, pada saat itu seharusnya mereka bersikap seperti layaknya penguji, dan bukan bersikap sebagai teman dan melempar canda yang bersifat personal semacam itu.

Bukankah begitu?

Thursday, December 5, 2013

Dokter... Dokter

Sebagai orang yang sering sakit, saya punya kedekatan khusus dengan dokter. Ditambah dengan sejarah kesehatan keluarga yang tidak terlalu baik, dan ada beberapa orang berprofesi sebagai dokter di keluarga besar saya, membuat profesi dokter itu sangat dekat dengan kehidupan keluarga kami juga. Berita mengenai dokter yang melakukan aksi solidaritas kepada rekan seprofesi yang dipidana penjara membuat saya merasa agak sedikit miris.

Mula-mula saya harus memposisikan diri saya dulu; apakah saya setuju dengan putusan MA untuk mempidana tiga orang dokter tersebut, atau tidak? Dari sisi apakah saya mengambil keputusan tersebut? Dan atas dasar apakah saya memilih keputusan itu.

Saya tidak setuju dengan putusan MA tersebut. Saya merasa, profesi dokter, sama dengan profesi sebagai anggota militer dan juga orang-orang yang bekerja di bidang jurnalistik ini sangat rawan karena batas antara benar salah sangatlah kabur. Tidak semua orang dapat memahami kode etik profesi yang dibawa oleh profesi-profesi semacam ini. Misalnya apabila seorang tentara menolak untuk melakukan perintah atasan untuk menyandera seorang sipil, tindakannya tidak bisa hanya dibawa ke pengadilan biasa, namun harus dilakukan di pengadilan militer. Misalnya seorang jurnalis melakukan tindakan investigasi yang kemudian berhubungan dengan rahasia negara, apakah dia dapat dituntut dengan pengadilan biasa? Saya rasa, profesi dokter juga demikian...

Tidak hanya profesi dokter ini berhubungan dengan nyawa manusia, namun dokter juga memiliki pertimbangan medis yang tidak dapat dengan mudah dijelaskan kepada orang awam. Apa yang menyebabkan seorang dokter mengatakan bahwa kemungkinan berhasil delapan puluh persen, atau dua puluh persen? Apa yang membuat dokter mengatakan bahwa operasi lebih baik daripada kelahiran normal? Saya rasa semua itu tergantung dari kondisi pasien pada saat itu, dan faktor x yang tidak terduga yang dapat terjadi kapan saja.

Saya tidak membela dokter yang didakwa bersalah itu. Saya tidak tahu benar apakah mereka betul memalsu tanda tangan, atau menyalahi peraturan. Tapi saya rasa dokter ini seharusnya tidak langsung dibawa ke pengadilan karena hakim tidak memiliki dasar pengetahuan medis. Hakim tidak akan bisa mengerti kondisi apa membutuhkan tindakan medis apa.

Satu hal lagi. Katakanlah saya memang sinis dan penuh curiga. Tapi keputusan MA yang kontroversial ini tidak jauh berbeda dengan keputusan MA saat mendakwa Angelina Sondakh. Keputusan ini bagi saya lebih bermuatan politis daripada manusiawi. Saya rasa keputusan ini hanyalah tindakan diplomatis untuk "menyenangkan" pihak yang dianggap berada di posisi lemah, sebagai orang awam, dan mengorbankan logika yang seharusnya dipakai untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya. Lagipula, apabila dokter ini memang memalsu tanda tangan, hukumannya mestinya adalah karena pemalsuan, bukan karena menghilangkan nyawa orang karena tindak kelalaian.

Pada hari rabu minggu lalu, saya pergi ke rumah sakit untuk menemui dokter saya. Dokter saya tidak ada di tempat. Untung tidak darurat, sehingga saya pulang dan kembali lagi hari minggunya. Kali ini ada dokter di sana dan saya pun bertanya apakah beliau saat itu sedang melakukan aksi solidaritas sehingga tidak ada di tempat saat jam kerja. Beliau bilang bahwa meskipun poliklinik tutup, namun UGD tetap terbuka lebar untuk siapa saja. Ini bukan aksi mogok, katanya...

Saya rasa putusan hakim MA tersebut membuat semua dokter di Indonesia menjadi khawatir atas keselamatan mereka bekerja sebagai dokter. Kebanyakan pasien di Indonesia tidak tahu banyak mengenai kesehatan mereka sendiri. Mereka tidak punya rekam jejak medis yang lengkap yang dapat diakses online seperti di luar negeri. Mereka tidak tahu apakah mereka punya alergi khusus atau apakah operasi gusi harus disebutkan apabila mereka ditanya mengenai pernah tidak menjalani operasi. Hal ini membuat dokter tidak tahu apakah suntikan yang mereka berikan akan menyebabkan reaksi alergi, atau menjadi fatal pada pasien.

Tidak lama setelah putusan ini dibuat oleh MA, media beramai-ramai memberitakan tentang dugaan malapraktik di berbagai macam daerah. Aji mumpung, kalau menurut saya. Inilah juga yang dikhawatirkan oleh dokter di Indonesia, saya pikir.

Dokter adalah profesi yang seharusnya mendapatkan kepercayaan penuh dari pasien. Dugaan malapraktik, benar atau salah, adalah sebuah kejadian yang dapat mencemari nama baik seorang dokter. Bagaimana dokter dapat bekerja kalau orang tidak lagi percaya kepadanya? Bagaimana dokter Indonesia bisa bekerja kalau tidak ada jaminan hukum yang membuat mereka merasa aman dalam mengambil keputusan untuk pasien? Saya rasa, kalau tidak ada tindakan cepat dari pemerintah, dokter-dokter pandai kita bakalan hengkang ke negara tetangga.

Percaya atau tidak, perkerjaan dokter ini masih langka di dunia. Di mana pun negara itu butuh dokter, bahkan negara maju macam Inggris pun masih terima dokter asing kalau ada yang mau bekerja ke sana. Hanya perlu tes penyesuaian saja. Jadi, tolong dong, hukum di Indonesia jangan hanya melindungi "rakyat kecil" saja. Yang tidak kecil memangnya bukan rakyat Indonesia juga?

Tuesday, November 26, 2013

Hukuman Untuk Angie

Keputusan hakim Mahkamah Agung yang menambah hukuman untuk mantan Puteri Indonesia yang juga merupakan salah satu terdakwa kasus mega korupsi Hambalang, membuat heboh jagad media. Sebagian mengatakan bahwa keputusan Mahkamah Agung itu sebagai sebuah tindakan penciteraan, mengingat bahwa akhir-akhir ini wibawa penegakan hukum di Indonesia sedang mengalami penurunan sejak kasus mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang terlibat masalah hukum.

Setelah banding yang dilakukan oleh Jaksa KPK ditolak oleh pengadilan tinggi, jaksa yang tidak puas dengan putusan pengadilan Tipikor yang menghukum Angelina Sondakh dengan hukuman empat tahun enam bulan penjara itu membawanya ke tingkat kasasi. Tak disangka, di tingkat kasasi, hukuman yang semula empat tahun itu berlipat hampir tiga kalinya menjadi dua belas tahun, ditambah lagi dengan kewajiban mengembalikan uang negara sebesar tiga puluh sembilan miliar rupiah.

Saya tidak terlalu mengikuti kasus Hambalang ini, sehingga saya tidak terlalu mengerti detailnya. Hanya saja sepanjang yang saya tahu, Angelina Sondakh tidak mendapatkan uang suap sebesar yang "ditagihkan" kepadanya itu. Bahkan, setelah diperiksa, harta yang dimiliki oleh Angelina Sondakh "hanyalah" 6,1 miliar. Darimana dan bagaimana caranya dia harus mengembalikan uang sebesar itu?

Agak tidak masuk akal bagi saya.

Saya percaya bahwa hukum yang berlaku di dalam peradilan di Indonesia ini tidak hanya harus memenuhi rasa keadilan, namun juga rasa kemanusiaan. Saya setuju dengan jaksa KPK yang membawa kasus ini ke tingkat kasasi dan gembira dengan putusan dua belas tahun penjara bagi Angelina Sondakh. Saya juga memahami bahwa hukuman "pemiskinan" yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ini akan sangat efektif memberikan efek jera bagi para koruptor. Tapi menyuruh orang mengembalikan 39 miliar di saat dirinya terbukti hanya memiliki 6 miliar di kantongnya?

Saya jadi kasihan dengan Angie.

Saya merasa hukuman yang diberikan kepadanya, meskipun adil tetapi tidak berperikemanusiaan. Apakah tidak ada pertimbangan bahwa anak-anak Angelina Sondakh dan mendiang Adjie Massaid itu saat ini masih sangat kecil? Mewajibkannya untuk membayar uang yang jelas-jelas tidak akan mampu dilunasinya itu terdengar selain tidak masuk akal juga tidak manusiawi bagi saya. Kalau tujuannya memang memiskinkan dan membuat kapok, ambil saja sisa 6 miliar yang dia miliki, kenapa harus memberikan angka yang tidak mungkin dilunasi?

Pantas saja ada orang yang merasa bahwa putusan MA ini seolah-olah sedang cari muka, di luar mereka yang memuji-muji keputusan yang dianggap berani ini. Hukuman fantastis diikuti dengan angka denda fantastis sepertinya memang sedang memberikan angin segar bagi warga negara yang berharap adanya hukuman yang berat bagi koruptor, tapi bukankah Angelina Sondakh juga masih merupakan warga negara Indonesia? Saya rasa dua belas tahun dan 6 miliar saja seharusnya cukup kalau ingin memberikan hukuman kepadanya.

Saat ini pengacara Angelina Sondakh sedang mengajukan peninjauan kembali ke Komisi Yudisial. Saya harap KY agak sedikit bijaksana, dan tidak hanya ingin mempertahankan "muka" sehingga tidak benar-benar melakukan apa yang sesuai dengan hati nurani mereka sendiri. Semoga Komisi Yudisial tidak menuruti tekanan untuk hanya menghukum tanpa melihat sisi manusiawi seorang warga negara yang bisa berbuat salah. Bagaimanapun, di luar kesalahannya ini Angelina Sondakh pernah berbuat banyak bagi negara ini.

Hanya pertimbangan saja...

Saturday, November 23, 2013

Keluarkan Saja?

Beberapa waktu yang lalu sejumlah siswa dari sebuah sekolah menengah negeri dikeluarkan karena melakukan pembajakan terhadap sebuah bus di Jakarta. Para orang tua siswa melakukan protes karena mereka tidak terima anaknya dikeluarkan dan harus masuk ke sekolah baru. Alasan protesnya beragam, dari yang merasa tidak rela anaknya dicap sebagai pembajak bus, sampai yang merasa anaknya tidak kerasan di sekolah baru karena tidak punya teman.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tidak bergeming, dan mendukung sekolah yang mengembalikan siswa-siswa yang nakal kepada orang tuanya itu. Alasannya sederhana: Sekolah negeri dibiayai oleh pemerintah. Masih banyak anak lain yang membutuhkan sekolah. Daripada menyekolahkan anak-anak yang lebih suka begajulan di jalan, lebih baik membiayai anak-anak yang benar-benar ingin belajar.

Seperti biasa, meskipun terdengar kasar dan keras, saya rasa kata-kata Ahok ini ada benarnya. Tentu saja saya kasihan dengan orang tua anak-anak ini, akan tetapi daripada melakukan protes dan menyalahkan sekolah seharusnya orang tua ini berkaca. Pendidikan moral tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab sekolah. Siswa bersekolah hanya 8 jam sehari, dan sisanya mereka berada di rumah dan bersama teman-teman mereka. Tentu saja sekolah tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan oleh anak-anak ini di luar jam belajar mengajar di sekolah.

Kalau dibilang mengeluarkan anak dari sekolah dikatakan sebagai tindakan kejam, saya rasa tidak juga. Meningkatkan mutu sekolah memang harus dimulai dari hal-hal semacam ini. Coba tengok sekolah-sekolah yang bermutu tinggi. Jangankan siswa yang membajak bus di jalanan, atau tawuran dengan siswa dari sekolahan yang lain-- siswa siswi yang ketahuan mencontek saja bisa dikeluarkan dari sekolah dengan alasan tindakan indisipliner. Sekolah tidak hanya mencetak siswa dengan kemampuan akademis yang membanggakan saja, namun juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak menjadi lebih baik -- dengan kapasitas mereka sebagai pendidik. Anak didik yang tidak mau dididik sesuai dengan kebijakan sekolah ya silakan kembali saja ke orang tua masing-masing.

Saya tidak bisa menahan geli ketika ada seorang penelepon yang mengomentari di media mengenai hal ini mengatakan bahwa anak-anak itu tidak seharusnya dikeluarkan karena mereka seharusnya ditanggung oleh dana BOS. Dana BOS? Anak-anak itu tidak peduli dengan dana BOS. Mereka bahkan tidak ingin belajar. Mereka ingin di jalan dan menjadi preman, membajak bus bersama teman-temannya.

Saya tidak bisa menahan kesal ketika seorang dari komisi perlindungan anak mengatakan bahwa seharusnya sekolah memberikan pendidikan kepada anak tersebut. Lalu ke mana orang tuanya? Lepas tangan?

Saya tidak ingin anak-anak Indonesia seperti anak-anak luar yang kurang ajar karena orang-orang seperti aktivis anak ini ikut campur dalam urusan sekolah. Di Inggris sana anak-anak dapat dengan leluasa memaki guru atau staf sekolah karena mereka tidak bisa dihukum. Mereka tidak boleh lagi dihukum lari keliling lapangan biar kapok, atau jongkok bediri di depan kelas biar malu. Mereka tidak boleh lagi dijewer atau dicubit, katanya itu kekerasan pada anak. Anak-anak itu tahu bahwa orang tua mereka bisa dihukum masuk penjara kalau menampar anak, meskipun anak itu sudah bicara kurang ajar kepada orang tua mereka.

Melenceng sedikit dari topik memang, tapi saya rasa saya sudah sampai pada intinya. Saya percaya bahwa sistem pendidikan negara ini masih butuh untuk keras kepada anak, tidak untuk menyakiti tapi untuk memberikan pendidikan yang tegas dan bisa dipercaya untuk membentuk kepribadian anak menjadi orang-orang yang waras dan tangguh. Jadi, anak-anak yang membajak bus bagaimana? Keluarkan saja. Anak-anak yang suka tawuran bagaimana? Keluarkan saja. Mahasiswa yang tawuran sampai membakar kampus sendiri? Kalau mereka kan sudah dewasa, laporkan saja ke pengadilan biar dipenjara karena tindakan pengerusakan.

Thursday, November 21, 2013

Denda! Denda! Denda!

Akhir-akhir ini media menyorot kebijakan mendenda yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta. Setelah mereka menetapkan ketentuan untuk memberikan denda sebesar lima ratus ribu rupiah bagi pengendara motor dan satu juta rupiah bagi para pengendara mobil yang menggunakan jalur busway, kini pemerintah provinsi juga menetapkan denda mulai limaratus ribu sampau lima puluh juta rupiah bagi siapapun yang membuang sampah sembarangan.

Kebijakan untuk memberikan denda kepada para pelanggar hukum ini sudah jelas tujuannya. Kemacetan jalan raya dan juga banjir adalah sebuah fenomena yang terjadi tanpa bisa dihindari di ibu kota Jakarta. Memberikan denda kepada para pelaku pelanggaran diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi ketertiban berlalu lintas dan juga kebersihan lingkungan.

Mengenai besarnya denda, saya merasa jumlahnya sudah tepat. Selain jumlah itu cukup besar untuk memberikan efek jera, jumlah itu tidak terlalu besar sehingga menimbulkan celah untuk jenis kejahatan yang lain, seperti menyogok oknum aparat.

Lalu, apakah pendapat masyarakat Jakarta?

Yang membuat saya tersenyum kecut adalah mereka yang merasa tidak puas dengan peraturan ini. Dari wawancara yang disiarkan di beberapa media, ada saja yang menolak niat baik dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini.

"Kalau dendanya segitu ya terlalu besar," kata seorang sopir angkot yang mengatakan bahwa jalur busway adalah solusinya untuk mengemudi saat jalanan macet.

"Ya kalay dendanya segitu, saya tidak terlalu setuju ya," kata salah seorang penduduk yang bermukim di bantaran sungai Ciliwung.

Bukan ketidak setujuan mereka yang membuat saya miris. Yang membuat saya merasa sedih adalah apa yang saya tangkap melalui bagaimana mereka mengungkapkan ketidaksetujuan mereka. Bila kita menganalisa kata-kata mereka, kita dapat melihat ada apa di balik ketidaksetujuan itu.

Pertama. Siapa yang peduli berapa dendanya kalau mereka tidak berniat untuk melanggar peraturan? Mau dibuat peraturan dengan pemberian denda lima puluh juta atau satu milyar juga tidak ada masalah kalau mereka tidak melanggar peraturan, bukan? Mau diancam dengan hukuman kurungan sebulan atau lima tahun tidak ada bedanya kalau mereka menaati peraturan tersebut, bukan?

Lalu, itu membuktikan apa?

Itu membuktikan bahwa secara mentalitas, masyarakat kita percaya bahwa hukum dapat dibeli oleh siapa pun. Bahwa denda itu bukanlah hukuman untuk pelanggar namun adalah jumlah yang kita bayar untuk membeli kebebasan untuk melanggar. Bahwa mereka berpikir bahwa kalau ada uang mereka bisa seenaknya saja melanggar.

Saya setuju dengan peraturan denda ini. Mungkin untuk sementara jalanan menjadi lebih macet karena sekarang banyak yang ketakutan masuk ke jalur busway. Tapi, saya berharap dengan ditambahnya armada bus trans jakarta, semoga saja para pengendara mobil dan sepeda motor dapat menggunakan bus trans jakarta sebagai alternatif pilihan. Sayangnya memang bus trans jakarta yang ideal untuk transportasi dalam kota ini belum menjangkau sepenuhnya seluruh area yang ada di Jakarta.

Bagi yang masih ingin naik kendaraan pribadi, ya terima saja lah resiko kena macet di musim hujan ini untuk sementara waktu. Perubahan untuk lebih baik kan butuh proses juga, dan salah satu prosesnya mungkin terasa tidak menyenangkan untuk beberapa saat. Saya masih percaya dengan pemerintahan Jokowi-Ahok ini kok...

Wednesday, November 6, 2013

Mental Korban

Pada tahun 2011 Jepang dilanda gempa hebat bernama Tohoku, dan diterjang tsunami yang meluluhlantakkan seluruh negeri. Pada saat itu perekonomian di beberapa daerah lumpuh, gedung-gedung hancur, dan jalanan rusak berat. Banyak korban jiwa, dan tidak terhitung berapa keluarga kehilangan tempat tinggal mereka. Ditambah lagi dengan bocornya nuclear plant yang menyebabkan ketakutan banyak pihak, pada saat itu Jepang sedang dirundung petaka.

Lihat Jepang saat ini. Kalau tidak bisa ke Jepang langsung, cari saja di google dengan keyword: "japan 2 years after tsunami" atau "japan 2 years after tohoku". Di pencarian gambar, kita bahkan bisa melihat perbandingannya, bagaimana kerusakan yang terjadi dua tahun lalu, dan apa yang sudah dibangun saat ini.

Sebagian besar orang akan langsung memuji pemerintah Jepang yang cepat dan tanggap dalam penanganan bencana. Sebagian lagi akan menitik beratkan pujian mereka pada fasilitas transportasi dan teknologi yang dimiliki oleh negeri matahari terbit itu sebagai penyebab cepatnya pembangunan pasca bencana. Tapi bagi saya yang paling hebat adalah mental orang-orang Jepang ini.

Saat seluruh negeri sedang berduka, para korban selamat saling membantu menyelamatkan satu dengan yang lain. Mereka dengan tertib hidup dalam kamp pengungsian. Tidak ada yang mengemis pada pemerintah untuk membantu. Tidak ada yang mencaci pemerintah yang lamban memberikan sumbangan. Tidak ada yang berebut sembako di pengungsian saat bantuan tiba. Semua berbaris rapi, semua tahu bahwa yang lain pun lapar dan ingin cepat-cepat dapat makan. Semua tetap menjaga keteraturan, karena kesadaran bahwa tidak ada gunanya membuat keadaan semakin buruk.

Inilah mental baja yang menurut saya membuat pembangunan di Jepang sedemikian pesatnya. Bukan berdalih tidak memiliki apa-apa sehingga tidak melakukan apa-apa, melainkan mengusahakan dengan apa yang tersisa untuk mengembalikan apa yang hilang. Inilah mental anak-anak matahari yang memiliki harga diri meskipun dalam keadaan yang terburuk. Semua tetap berlaku selayaknya manusia meskipun perut meronta dan kehilangan segalanya dalam terjangan gempa dan tsunami.

Sayangnya, di negeri ini tidak begitu.

Jangankan pada saat kehilangan seluruh harta benda ketika bencana melanda. Bayangkan saja apa yang terjadi pada saat ada pembagian dana BALSEM. Bayangkan saja apa yang terjadi apda saat pembagian daging korban di hari raya Idul Adha. Manusia berubah kelakuannya menjadi seperti binatang merauk mengais mengemis, dan kalau tidak kebagian maka akan menyalahkan, merasa sudah menjadi korban.

Inilah logika orang bermental korban. Biar saya jelaskan.

Pak Ali gajinya 1000 rupiah bisa hidup tenang tiap hari. Suatu hari ada orang datang ke rumahnya mengatakan bahwa pada hari minggu akan ada orang bagi-bagi 2000 amplop uang 50 rupiah di balai kota.
Pak Ali pergi ke balai kota pada hari minggu dan mendapati banyak orang mengantri. Ingin kebagian Pak Ali menjadi buas berebut dengan yang lain. Tapi pada akhirnya Pak Ali tidak kebagian.
Pak Ali protes katanya, dia sudah mengantri tapi tidak kebagian amplop. Menurutnya orang yang membagi amplop itu salah dan dia adalah korban. Lalu mulai merasa bahwa 1000 rupiah yang dimilikinya itu tidak cukup lagi untuk hidup sehari-hari dan seharusnya pemerintah menyediakan lebih dari 2000 amplop.
Pak Ali ingin disedekahi. Pak Ali HARUS disedekahi.

Mungkin anda tidak akan mengerti bagaimana logika itu berjalan, tapi itulah yang terjadi di sini. Tapi bersyukurlah kalau anda tidak mengerti, karena itu mungkin berarti anda tidak punya mental pengemis yang merasa disedekahi itu adalah kewajiban orang yang lebih kaya daripada anda. Karena kalau benar anda tidak bermental pengemis, maka setidaknya negara ini masih ada harapan di masa depan.

Selamat...!!

Sunday, November 3, 2013

Sweeping Demo Buruh

Reaksi pertama saya adalah... Ini orang pada gila ya?

Maafkan reaksi saya kalau terdengar kasar dan berlebihan. Akan tetapi saya masih tidak habis pikir mengapa ada orang yang bisa melakukan hal semacam ini. Dan yang lebih saya tidak mengerti adalah mengapa hal semacam ini dibiarkan saja terjadi?

Sweeping demo buruh.

Yang dimaksud dengan sweeping demo buruh bukanlah aksi anti demokrasi yang dilakukan pemerintah sehingga para buruh tidak lagi bisa berdemo. Sweeping demo buruh adalah tindakan anarkis para pendemo yang melakukan sweeping di perusahaan-perusahaan yang buruhnya tidak ikut berdemonstrasi. Orang mau bekerja kok dilarang?

Saya rasa inilah mental rakyat bawah kita.

Beberapa waktu lalu saat para produsen tahu dan tempe melakukan demonstrasi karena naiknya harga kedelai, serikat pengusaha tahu dan tempe juga melakukan aksi serupa. Mereka merusak dan menghancurkan usaha milik pengusaha tahu dan tempe yang lain, yang tidak ingin ikut berdemo bersama mereka. Tidak ada tindakan apapun yang dilakukan pemerintah untuk menghukum orang-orang yang bertindak anarkis ini. Tidak ada tuntutan hukum yang dilakukan oleh pengusaha yang dirugikan. Padahal jelas-jelas yang mereka lakukan ini adalah tindakan pidana (pengerusakan, tindakan tidak menyenangkan dll).

Orang-orang ini mengatasnamakan demokrasi. Mereka berdemo dan meminta untuk dibiarkan berdemo atas nama kebebasan berpendapat. Mereka ingin dimengerti saat mereka berpendapat bahwa satu-satunya cara untk meningkatkan taraf hidup mereka adalah dengan menuntut kenaikan gaji. Tapi mereka tidak mengerti orang lain (buruh lain) yang berpendapat bahwa daripada berdemo minta naik gaji tapi akhirnya malah kehilangan upah harian, lebih baik bekerja sungguh-sungguh dan dapat gaji betulan. Mereka tidak menghargai orang yang memilih untuk bekerja dengan tenang, supaya perusahaan mereka tidak tutup karena tekanan biaya dan akhirnya malah melakukan PHK besar-besaran.

Kebebasan berpendapat dari mana?

Mereka minta kebebasan berpendapat namun tidak menghargai orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka? Mengatai orang lain kapitalis tapi tidak menyadari bahwa tindakan mereka berdemo dan sweeping semacam ini tidak ada bedanya dengan buruh-buruh pada jaman PKI berjaya dulu? Ya... Mari belajar sejarah lagi, karena saya tidak mau bicara banyak mengenai hal ini. Yang pasti pada jaman PKI dulu, pabrik kakek saya disuruh berhenti produksi karena buruh-buruhnya diharuskan ikut demo oleh serikat buruh yang didukung partai. Ga ada bedanya sama jaman sekarang, kan?

Ini kata saya...

Silakan sweeping, silakan demo. Jangan salahkan perusahaan melakukan PHK besar-besaran.

Yang demo meminta karyawan yang di PHK di pekerjakan kembali, berikan saja pekerjaan kalian pada mereka yang di-PHK kalau kalian mau dibilang setia kawan.

Yang sudah kehilangan pekerjaannya karena perusahaan yang mereka demo sekarang pindah ke Vietnam, silahkan kasih makan anak istri pake angin, karena batu pun sekarang tidak gratis lagi.

Yang takut perusahaanya tutup, berhenti demo. Kerja. Kasih tahu teman-teman kalian yang demo itu supaya tutup mulut. Mau jadi pengangguran jangan ngajak-ngajak, karena kalian punya anak istri dan orang tua yang harus ditanggung.


Salam

Thursday, October 31, 2013

Ahok dan Hatta Awards...

Wakil Gubernur DKI Jakarta, yang juga merupakan mantan Bupati Belitung, Basuki Tjahaja Purnama telah dianugerahi penghargaan Hatta Award. Penghargaan itu diberikan kepada pria yang terkenal dengan gaya bicaranya yang keras dan tanpa tedeng aling-aling itu karena perlawanannta terhadap praktek korupsi. Gayanya yang terbuka dan transparansinya kepada publik mengenai harta yang dimilikinya membuatnya menjadi salah satu pahlawan anti korupsi di Indonesia pada saat ini. 

Lalu apa tanggapan Ahok mengenai pemberian awards ini?

Dalam wawancaranya di Mata Najwa, Ahok mengatakan bahwa sebenarnya menjadi pejabat yang jujur itu tidak perlu diberi award. Mengapa? Menurut Ahok, memang sudah seharusnya pejabat pemerintahan itu berlaku jujur. Ahok mengatakan bahwa seharusnya pejabat jujur itu biasa saja karena pejabat itu saat dilantik sudah bersumpah untuk berlaku jujur dalam bekerja. Memiliki pejabat jujur seharusnya tidak perlu dirayakan. 

Akan tetapi, menurut pria keturunan Tionghoa itu, di negara seperti di Indonesia ini, dia perlu menerima penghargaan yang dianugerahkan kepadanya itu. Bukan karena dia ingin pamer bahwa dia adalah pejabat jujur, akan tetapi untuk memberikan moral boost kepada bangsa Indonesia bahwa ternyata masih ada pelayan rakyat yang mengabdi dengan sungguh-sungguh. Bukan karena dia ingin sok suci, namun untuk memberi contoh juga kepada pejabat yang ingin bersih, dan memberikan perlawanan kepada yang tidak ingin bersih.

Ini membuat saya sedikit gembira. 

Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat kepada Pak Ahok untuk penghargaan yang diterimanya. Saya gembira mengetahui bahwa selain Pak Ahok, masih ada orang-orang lain yang juga menerima penghargaan ini atas usaha mereka membersihkan pemerintahan di negara kita ini. Berkat orang-orang semacam mereka, negara ini masih ada secercah harapan.

Namun, saya setuju dengan beliau bahwa penghargaan ini sebenarnya tidak perlu dilakukan. Adanya penghargaan seperti ini menunjukkan seolah-olah pejabat yang bersih itu adalah oknum, dan yang mayoritas dan yang dianggap biasa itu adalah pejabat yang korup. Itulah yang membuat kegembiraan saya agak sedikit tercemari. Saya berharap sepuluh tahun lagi setidaknya, penghargaan ini sudah tidak dibutuhkan lagi. 



Monday, October 28, 2013

Hey Kamu Yang Masih Muda...



Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia

Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

Kamu Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Ingatkah dengan tiga baris pernyataan itu?

Selamat hari sumpah pemuda semuanya.

Monday, October 21, 2013

Hanya Ide Saja...

Anda seorang politisi? Atau seorang figur publik?

Ingin suara anda didengar oleh rakyat? Atau ingin kata-kata anda diperhatikan oleh masyarakat Indonesia?

Ingin komentar anda mengenai suatu hal terdengar brilian? Ingin rakyat berhenti mengolok-olok pernyataan yang anda keluarkan di media? Ingin melakukan pencitraan tanpa kelihatan seperti sedang melakukan pencitraan?

Mungkin yang anda butuhkan bukanlah seorang Juru Bicara.

Mungkin yang anda butuhkan adalah ahli komunikasi, seperti saya.

...

Ciptakan, citra baru partai yang nampak cerdas dan berwibawa tanpa salah komen di social media. Tunjukkan pada rakyat Indonesia bahwa anda pun dapat terlihat intelek tanpa harus terdengar seperti VP.

...

Sarjana Komunikasi.

Cerahkan citra publik anda.


Sunday, October 20, 2013

GBHN: Perlu atau Tidak?

Saya mungkin bukan ahli dalam bidang politik. Saya bukan pengamat yang telaten dan saya sering kali menanggapi berita politik dengan tidak objektif. Saya hanya satu semester mempelajari politik di kampus, dan itu saja hanya sebatas dasar-dasar yang membuat saya tidak terlalu buta mengenai dunia politik. Tapi mengenai GBHN saya memiliki pendapat yang cukup kuat. Setidaknya dengan alasan saya sendiri.

Bayangkan sebuah perusahaan besar yang mana pemiliknya tidak lagi berkutat di kursi direksi, melainkan hanya berada di jajaran pemegang saham. Beberapa kali dalam sepanjang hidup perusahaan tersebut akan terjadi pergantian kepemimpinan, dan gaya kepemimpinan. Dan, dalam kepemimpinanya, seorang Dirut akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kemudian akan mempengaruhi sukses atau tidaknya perusahaan tersebut dalam satu tahun kerja. Di akhir tahun, saat tutup buku, Dirut tentunya harus memberikan pertanggungjawaban kepada para pemegang saham, bukan?

Namun, dalam melakukan pengambilan keputusan perusahaan, pergantian kebijakan atau pembentukan kebijakan baru itu, Dirut beserta yang bekerja bersamanya dituntun oleh visi dan misi perusahaan. Dengan tuntunan itu, sesering apapun tampuk pimpinan perusahaan berganti, roda pemerintahan dalam perusahaan itu dapat berjalan dengan stabil di relnya.

GBHN atau yang disebut dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara adalah semacam itu. Ia adalah rel yang menuntun siapapun yang berada dalam tampuk pemerintahan tidak keluar jalur dalam mengambil keputusan atau membuat kebijakan. GBHN akan memberikan batasan-batasan, sejauh apa dan dalam lingkup apa keputusan dapat dan boleh diambil, sehingga satu kebijakan dan kebijakan yang lain tidak akan saling bertentangan. GBHN tentu saja tidak bersifat khusus dan mendetail, namun hanya untuk mengarahkan saja.

Saya rasa para politisi paham betul fungsi GBHN, karena mereka sudah lama berada dan bergelut di bidang itu. Mereka jauh lebih pandai dan lebih berpengalaman daripada saya. Tapi saya merasa, bahwa beberapa yang menolak diaktifkan kembalinya GBHN didorong oleh alasan-alasan yang lebih bersifat politis daripada alasan-alasan lain.

GBHN adalah sebuah ide brilian yang dimunculkan oleh mantan presiden Indonesia, almarhum H.M. Soeharto. Karena beberapa catatan hitam beliau -- yang kemudian terungkap menjelang dan juga setelah lengsernya beliau dari tahta kepresidenan, maka seolah-olah segala sesuatu yang berkaitan dengan Orde Baru adalah buruk. Sehingga pada akhirnya, para politisi partai akan merasa ketakutan untuk mengadaptasi ide yang pernah ada di masa orde baru, karena takut dianggap ingin menghidupkan lagi Orde Baru.

Saya rasa tindakan itu tidak hanya tidak bijaksana, namun juga dapat menghambat perkembangan sebuah negara. Bayangkan apabila sebuah perusahaan mengalami pergantian manajer marketing. Sebuah marketing campaign yang brilian dan sedang berjalan dengan sempurna membawa produk perusahaan tersebut menjadi market leader, mau tidak mau dihentikan karena manajer marketing yang baru ingin membuktikan bahwa dia bisa keluar dari bayang-bayang manajer marketing sebelumnya. Hasilnya anda dapat melihat sendiri di dunia nyata, sebuah perusahaan mi instan tidak lagi menjadi market leader tanpa saingan, bahkan kini harus head to head dengan produsen mi instan yang belum lama berdiri.

Ide bagus adalah ide bagus, tidak peduli dari mana ide tersebut berasal.

Saya rasa GBHN itu adalah ide yang baik. Dengan perencanaan 15-20 tahun ke depan, tidak peduli siapa presidennya maka rencana-rencana brilian yang sudah dibuat dapat segera diwujudnyatakan. Partai-partai politik tidak perlu lagi sibuk mempertahankan posisi sebagai partai penguasa, dan yang oposisi dapat dengan bebas menyatakan oposisinya tanpa takut kemudian dipersulit karena sudah ada garis-garis besar yang menunjukkan ke mana negara ini akan dibawa.

Tolong koreksi saya apabila saya salah. Tapi saya rasa, GBHN perlu diadakan lagi, biar tidak bingung mau pilih presiden yang mana di tahun 2014 nanti....

Saturday, October 19, 2013

Fakir Miskin Dan Anak Terlantar...

Suatu hari yang cerah, saya dan keluarga sedang dalam perjalanan pulang setelah menikmati makan siang keluarga di sebuah rumah makan di kota. Perjalanan diselingi dengan padatnya jalan terasa menyenangkan, seolah dunia ini adalah tempat yang indah bagi semua makhluk. Di bawah cerah sinar matahari yang tidak terlalu terik berkat awan putih yang memayungi, mobil kami berhenti di sebuah perempatan. Lampu merah menyala, dan sebagai warga negara yang taat hukum, kami menunggu sampai lampu lalu lintas beralih menjadi hijau.

Namun, dalam menit yang panjang itu, seorang wanita berkulit legam karena terbakar matahari, datang untuk mengamen. Yang saya maksud dengan mengamen adalah datang dengan wajah acuh tak acuh, menggoyangkan sebuah alat yang dimaksudkan sebagai perkusi pengiring, dan bercuap sekenanya seolah menyanyikan sesuatu, selama beberapa detik sambil menunggu pengemudi mobil merasa jengah dan memberinya sesuatu. Adik saya yang saat itu mendapat tugas mengemudi melambaikan tangannya, dan segera perempuan itu pergi menuju mobil di belakang kami.

Ayah saya bersungut.

Perempuan itu sehat jasmani. Matanya tidak berkacamata, dan dia cukup kuat untuk berdiri dan berkeliaran seharian di jalan raya, kadang malah sambil menggendong anak kecil. Tubuhnya tidak kurus kering seperti kurang makan, dan wajahnya meski dekil memiliki rona sehat, bukan pucat seperti layaknya orang kelaparan. Dan dari kondisi fisik semacam itu, seharusnya dia bisa bekerja, bukan mengemis.

"Jangan diberi," kata ayah saya. "Sekali diberi, nanti jadi kebiasaan, dan makin lama makin banyak yang cari uang dengan mengemis."

"Tidak diberi pun akan tetap ada yang seperti ini, Pa," adik saya menimpali. "Wong fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, pantas saja mereka tidak habis-habis..."

***

Mekipun saya tidak perlu membela diri saya sendiri, tapi saya merasa saya perlu menjelaskan, bahwa saya tidak anti dengan pengamen. Bukan pengamen seperti pengemis yang saya ceritakan tadi. Yang saya maksud adalah pemusik jalanan yang benar-benar bermusik untuk mendapatkan uang. Saya pernah melihat aksi pemusik jalanan yang membuat band dari alat musik seadanya, menghasilkan musik yang indah dan menghibur. Mereka sopan, dan nampak bersih -- siap untuk tampil. Penonton membayar mereka karena keterampilan mereka memainkan alat musik, bukan karena kasihan atau karena takut mobilnya dibaret dengan paku atau uang receh.

Saya juga keberatan dengan para pengemis yang merasa bahwa para pengemudi mobil sudah selayaknya memberikan mereka sedekah, karena mereka percaya bahwa yang mereka lakukan adalah "pekerjaan halal". Saya pernah mendengar seseorang berkata kepada saya bahwa para pengemis itu merasa bahwa selama mereka tidak mencuri, merampok, menjambret atau melakukan tindak kriminal lainnya, uang yang mereka dapatkan dari mengemis itu halal. Bagaimana dengan pengemis yang membaret mobil orang karena tidak diberi uang? Apakah pemerasan itu termasuk halal juga?

Mengemis adalah pekerjaan orang malas.

Bagi saya tidak ada yang halal dari tindakan manipulatif, memanfaatkan hati nurani orang lain demi kepentingan pribadi. Bagi saya tidak ada pekerjaan yang tidak bisa dilakukan selama seseorang memiliki fisik yang sehat dan tak berkekurangan. Contoh paling mudah, pabrik milik ibu saya selalu membutuhkan karyawan, dan kawan-kawan ibu saya selalu membutuhkan pembantu rumah tangga.

Dan kalau itu tidak cukup, mungkin anda perlu mendengar berita mengenai penolakan pengemis atas tawaran kerja dari Walikota Bandung, Ridwan Kamil.

Ridwan Kamil, Walikota Bandung saat ini berencana untuk menertibkan jalanan di kota yang dipimpinnya dengan meniadakan pengemis. Sebagai solusinya, Walikota menawarkan pekerjaan kepada para pengemis ini sebagai penyapu jalanan, dan menggaji mereka sesuai UMR!! Coba bayangkan, betapa para buruh pabrik akan iri dengan pekerjaan ini. Berapa banyak buruh yang bekerja dengan menggunakan keterampilan seperti menjahit atau bertukang yang dibayar dengan gaji di bawah UMR. Ini para pengemis tanpa keterampilan khusus, ditawari pekerjaan mudah dan digaji sesuai UMR. Dan inilah tanggapan para pengemis:

1. Mereka mendatangi Ridwan Kamil dan menolak pekerjaan tersebut kecuali mereka digaji 10 juta.
sumber:http://news.detik.com/bandung/read/2013/09/30/141830/2373233/486/datangi-ridwan-kamil-pengemis-minta-gaji-hingga-rp-10-juta
2. Mereka protes dan bertanya kenapa Pemerintah Bandung melarang orang untuk bersedekah.
sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2013/10/17/pengemis-bandung-mengapa-melarang-orang-beramal

Saya bahkan tidak tahu harus memulai dari mana untuk menanggapi hal ini. Meminta gaji 10 juta itu apakah masuk akal? Menggaji tukang sapu jalanan dengan UMR saja saya masih bingung dengan perhitungannya, ini minta gaji sama dengan walikotanya. Tapi setelah berhitung-hitung, tentu saja mereka mau minta uang sebanyak itu, karena ternyata penghasilan mereka dari mengemis lebih besar daripada penghasilan mahasiswa S1 yang baru lulus.

Jadi, kalau anda bekerja dengan gaji dibawah 10 juta, pikir-pikir lagi untuk memberikan uang kalian kepada para pengemis ini. Penghasilan mereka lebih besar daripada anda. Mereka tidak butuh uang anda.

Yang kedua, kalau anda ingin beramal, tidak usah beramal langsung kepada pengemis. Datanglah saja ke panti asuhan atau panti jompo, atau kalau anda benar-benar kasihan dengan anak-anak kecil yang dieksploitasi dan tidak diberi makan oleh orang tuanya, beri saja nasi bungkus. Jangan beri uang.

Saya tahu dalam ajaran agama, anda wajib beramal. Tapi anda tidak perlu beramal dengan cara melestarikan pengemis. Fakir miskin dan anak terlantar tidak perlu dipelihara, tapi dinaikkan taraf hidupnya.


sumber:
http://www.tribunnews.com/regional/2013/10/17/ridwan-kamil-penghasilan-pengemis-lebih-besar-dari-gaji-wali-kota
http://regional.kompas.com/read/2013/09/23/0750214/Ridwan.Kamil.Akan.Bayar.Pengemis.untuk.Bersihkan.Bandung
http://www.tempo.co/read/news/2013/10/14/058521649/Digaji-700-Ribu-Pengemis-Bandung-Protes-Wali-Kota

Thursday, October 17, 2013

Golongan Putih...

Beberapa hari terakhir ini, di sebuah milis yang saya ikuti, pembicaraan mengenai golput sedang menjadi topik yang hangat dibicarakan. Beberapa orang yang sebenarnya mendukung seorang tokoh -- namun ragu-ragu apakah tokoh tersebut akan diangkat menjadi calon presiden oleh partai tempatnya bernaung saat ini, merasa bahwa seandainya pada waktu pemilu nanti tokoh tersebut disandingan oleh orang yang tidak tepat atau apabila tokoh tersebut tidak mencalonkan dan calon-calon lainnya dianggap tidak layak, maka golput adalah pilihan yang tepat.

Golput atau golongan putih artinya seseorang yang memiliki hak pilih memutuskan untuk tidak menggunakan haknya.

Bagi yang tidak setuju, golput dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak nasionalis, tidak patriotik. Melepaskan hak pilih di sebuah pesta demokrasi seolah-olah dianggap tidak menghargai dan tidak mengerti betapa penting dan berharganya hak tersebut di negara demokrasi seperti Indonesia. Yang lain beranggapan bahwa saat seseorang tidak menggunakan hak pilihnya maka sama saja dengan membiarkan orang lain menggunakan haknya untuk menentukan keinginan mereka.

Saya sendiri tidak menentang golput. Bukan berarti saya akan golput. Hanya saja saya mengerti kenapa seseorang memilih golput.

Meskipun saya tahu bahwa istilah Golput ini sudah lama ada, namun pertama kali saya akrab dengan istilah golput ini adalah setelah adanya kasus KUDATULI atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli. Mungkin remaja sekarang tidak pernah dengar mengenai kasus ini, mungkin karena pada saat itu mereka belum lahir atau masih terlalu kecil untuk mengerti. Kasus Kudatuli adalah kasus penyerangan dan pengambilan paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro untuk menggeser Megawati Soekarnoputri, pada tanggal 27 Juli 1996. Kasus ini juga berkaitan dengan banyak kasus orang hilang, dan salah satunya ayah dari teman sekelas adik saya di SMP, Fitri Nganthi Wani -- Widji Thukul.

Sejak kejadian itu banyak orang yang memutuskan untuk golput karena mereka tidak mau memilih salah satu dari tiga partai yang ada, pada pemilu yang direncanakan akan digelar pada tahun 1997 (pemilu tersebut dimenangkan oleh Golkar, dan H.M. Soeharto dimandat sekali lagi untuk menjabat sebagai presiden).

Saat itu orang memilih golput tidak sekedar karena tidak tahu mau memilih apa, atau karena muthung lantaran tokoh yang diidamkan tidak ada di daftar calon presiden. Namun sebagai wujud protes sosial, ingin menunjukkan ketidakpercayaan mereka terhadap sistem pada saat itu. Mereka melepaskan hak pilih karena mereka merasa pesta demokrasi sudah ternodai oleh Kudatuli saat itu. Saat itu orang yang memutuskan untuk golput merasa bahwa ikut merayakan pemilu sebagai pesta demokrasi sama saja dengan lupa berkabung dengan kematian demokrasi yang terjadi setahun sebelumnya.

Bagaimana dengan saat ini?

Saya rasa, saat ini orang-orang yang golput tidak sama dengan orang yang golput pada waktu itu.

Mungkin saja masih ada orang yang tetap golput sejak 1997 karena masih melakukan protes yang sama, masih berkabung atas demokrasi di Indonesia, dan menganggap demokrasi di Indonesia belum bangkit dari kubur. Tapi, mungkin saja ada yang merasa bahwa memilih yang terbaik di antara yang terburuk bukanlah pilihan yang tepat, dan tidak mau ikutan bertanggung jawab memenangkan orang yang dianggapnya kelak akan membawa negara ini ke dasar jurang. Mungkin saja ada yang memutuskan untuk tidak memilih hanya sekedar karena tidak tahu siapa yang mau dipilih...

Entahlah...

Saya rasa memilih untuk tidak memilih tetap saja adalah pilihan. Bila seseorang memilih untuk tidak datang ke pesta, atau tidak ikutan makan saat datang ke pesta, apa salahnya?

Hanya saja, pesan salah seorang yang ada di milis tersebut, dan akan saya sampaikan juga kepada semua orang yang membaca artikel ini:

Apabila anda memutuskan untuk melepaskan hak pilih anda, jangan biarkan nama dan kertas suara anda dipakai oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Tetaplah datang ke Tempat Pemilihan Umum di mana anda terdaftar. Daftarkan nama anda, supaya nama anda tidak dapat dicatut. Dan gunakan kertas pilih anda, coblos yang anda mau, atau coblos semuanya supaya tidak sah kalau anda tidak mau memakai hak pilih anda.

Jangan biarkan nama dan kertas anda dipakai oleh orang lain/oknum/suruhan oknum, untuk mendukung calon yang mungkin akan jadi presiden anda.

Sampai bertemu di pesta demokrasi tahun depan :)

Wednesday, October 16, 2013

Maju Tak Gentar Membela Yang Lemah...?

Saya pasti akan dengan segera menuai segala macam caci maki kalau saya memulai artikel saya kali ini dengan mengatakan bahwa saya merasa bahwa maju tak gentar membela yang lemah itu tidak lebih dari sekedar omong kosong yang hanya membawa negara saya ini ke ambang kehancuran. Tapi tentu saja, saya yakin pembaca saya tidak akan serta merta mencaci saya, namun tentu juga ingin tahu kenapa saya mengatakan hal tersebut.

Sejak kecil saya sudah diajari untuk berani membela yang benar. Saya merasa tidak ada salahnya membela orang yang benar, karena kebenaran memang harus selalu dibela. Namun saat saya mendengar politikus atau orang yang dianggap sebagai pemimpin negara mengatakan bahwa mereka ingin membela orang yang lemah, saya hanya mendengus kesal. Kenapa membela yang lemah? Apakah yang lemah selalu benar?

Kalau hukum memihak kepada yang lemah, maka kebenaran akan menjadi kabur. Orang akan dapat dengan mudah memposisikan dirinya sebagai lemah, tak berdaya, dan tertindas, hanya untuk lari dari tanggung jawab dan hukum.

Contoh saja. 

Seorang pengemudi bajai atau becak sedang berada di jalanan, mengambil jalur kiri yang disediakan untuk kendaraan dengan kecepatan rendah. Di sebuah perempatan dia ingin berbelok ke arah kanan, namun karena becak atau bajainya tidak memiliki lampu indikator yang menunjukkan ke mana dia akan berbelok maka dia langsung saja berbelok, seolah jalanan hanya miliki dia. Sebuah mobil mewah dengan biru putih mentereng melaju dengan kecepatan sedang, di jalur tengah dan berniat untuk berjalan lurus tidak mengira becak atau bajai tersebut akan melintas di depannya tanpa aba-aba. Becak atau bajai tersebut tertabrak dan terguling, sehingga pengemudinya terluka lumayan parah. 

Pertanyaanya: Haruskah pengemudi mobil mewah tersebut turun menolong? Kalau pengemudi mobil mewah tersebut turun menolong, apakah yang akan terjadi pada dirinya? a. dihakimi massa karena sudah menabrak "yang lemah"? b. dipersulit di peradilan karena (1) oknum hakim tidak berani menyalahkan pengemudi becak atau bajaj (yang sebenarnya salah) karena takut dikira menerima sogok atau (2) bertemu dengan oknum yang sengaja ingin mencari "uang rokok" di luar gaji? atau c. pada akhirnya harus mengajak damai yang ditabrak dan mengganti semua biaya pengobatan dan perbaikan kendaraan, serta menyantuni keluarga yang ditabrak karena pengemudi tersebut tidak bisa bekerja selama beberapa bulan -- meskipun pengemudi mobil mewah tersebut tidak bersalah?

Atau... supaya tidak harus mengalami itu, sekalian saja sogok oknum hakimnya supaya tidak terlibat masalah kini dan nanti?

Atau contoh lain.

Pemerintah kota ingin menggusur pemukiman liar di sekitar bantaran sungai karena pada dasarnya pemukiman liar tersebut adalah melanggar hukum. Pemukiman liar di bantaran sungai tidak hanya akan menyebabkan penumpukan sampah rumah tangga di sungai yang pada akhirnya menyebabkan banjir YANG MERUGIKAN SELURUH WARGA KOTA, namun juga mempersulit akses petugas yang ingin membersihkan atau merawat sungai tersebut. Maka pemerintah kota meminta para pemukim YANG TIDAK MEMBAYAR PAJAK BUMI DAN BANGUNAN itu untuk pindah baik-baik, dan bahkan disediakan pemukiman pengganti, yang bersih, dan sehat dan bebas banjir. Warga kota protes, dan meminta ganti rugi yang jumlahnya konyol, dan menuduh pemerintah tidak membela yang lemah.

Pertanyaanya: Haruskan pemerintah tersebut tunduk pada suara mereka "yang lemah"? Haruskah pemerintah mengorbankan kenyamanan warga kota yang lain, yang juga berhak mendapatkan air bersih dan juga kota yang bebas banjir, demi mengabulkan pemukim liar ini? Ataukah pemerintah menangkap dan memenjarakan para pemukim liar yang seenaknya ini karena notabene mereka sudah melanggar hukum dengan mendirikan bangunan tidak berizin, dengan resiko dikecam media yang "membela yang lemah"?

Saya tidak suka dengan pernyataan membela yang lemah.

Saat hukum membela yang lemah, maka hukum akan menjadi rawan praktik penyelewengan. Mereka sebenarnya tidak bersalah tidak akan mendapatkan keadilan karena mereka yang "lemah" akan merasa menang karena mereka dapat secara politis menekan pemerintah untuk "membela wong cilik". Sangat mudah bermain sebagai korban dan menuduh orang lain tidak humanis apabila konsep kebenaran tidak dipertimbangkan saat mengambil keputusan. 

Sudah seharusnya hukum ditinjau ulang. Haruskah yang lemah dimenangkan, dan yang benar mengalah demi alasan politis dan praktek pencitraan? 

Tuesday, October 15, 2013

Hello Dolly!

Gang Dolly...

Meskipun saya tidak tinggal di Surabaya, dan saya belum pernah mengunjungi tempat tersebut, nama Gang Dolly cukup familiar di telinga saya. Gang Dolly terkenal sebagai salah satu lokalisasi usaha prostitusi yang cukup terkenal di Indonesia (dan bahkan kabarnya cukup terkenal juga di daerah Asia Tenggara ini). Tapi, akhir-akhir ini muncul berita bahwa Pemerintah Kota Surabaya (walikota Surabaya saat ini) sedang mempersiapkan penutupan lokalisasi Dolly itu.

Pertanyaanya adalah: apakah hal tersebut bijaksana?

Saya tidak akan bicara mengenai orang-orang yang akan kehilangan mata pencahariannya di sana. Tidak sulit untuk menebak bahwa akan banyak usaha yang tutup apabila lokalisasi juga ditutup, meskipun tidak semuanya bekeja di bisnis prostitusi. Banyak penjual makanan minuman, juga mungkin penjual kondom yang akan segera gulung tikar begitu tidak ada lagi pengunjung ke sana untuk mencari hiburan.

Bagi saya, ada masalah lain yang lebih rumit dari masalah mata pencaharian.

Melokalisasi bisnis prostitusi memang dapat dibilang seolah-olah melegalkan praktek perpelacuran. Akan tetapi, dengan menutup sebelah mata akan adanya bisnis syahwat semacam ini, dan melokalisasinya seperti di Dolly ini membuat bisnis dan pertumbuhannya dapat dengan lebih mudah dikontrol oleh pemerintah. Pemerintah juga dapat dengan lebih mudah memberikan penyuluhan mengenai pentingnya kesehatan organ seksual kepada para pekerja seks komersial. Para pekerja juga dapat dengan mudah dideteksi keberadaannya, dan sesegera mungkin dapat diketahui apabila ada kekerasan yang terjadi di sana (mengingat pekerjaan ini sangat rawan dengan tindak kekerasan pula).

Membubarkan lokalisasi saya rasa bukanlah tindakan yang bijaksana.

Membubarkan tempat lokalisasi, tidak menyelesaikan masalah sampai ke akarnya. Membongkar Dolly, bukan berarti membuat para pekerja seks tersebut berhenti melakukan prostitusi. Meniadakan Dolly bukan berarti pelanggan tidak lagi dapat mengontak para mucikari.

Itu hanya berarti para pekerja seks komersial ini tidak lagi dapat mencari makan di Dolly. Mereka bisa berada di mana saja, bekerja pada mucikari gelap dan menjadi pekerja seks panggilan, atau berdiri di pinggir jalan atau di mall menunggu ada yang menangkap kode yang mereka gunakan. Mereka tidak lagi terakses dengan petugas kesehatan, karena petugas tidak lagi tahu harus mencari mereka di mana. Tidak ada lagi penyuluhan, karena sekarang para pelaku prostitusi sudah tersebar entah di mana. Dan lebih lagi... pekerjaan yang pada dasarnya sudah rawan kekerasan itu sekarang makin rawan lagi karena tidak ada lagi kontrol lingkungan.

Apabila alasannya adalah membersihkan lingkungan, dan memperbaiki moral, saya rasa membubarkan Dolly tidaklah relevan. Praktek prostitusi adalah salah satu pekerjaan tertua di dunia, di mana selama masih ada permintaan, maka selalu akan ada supply. Lagipula, saya rasa sudah saatnya pemerintah menyadari bahwa urusan moral dan etika bukanlah urusan pemerintah, apalagi kalau tidak merugikan orang lain. Yang harus diurusi pemerintah adalah pembenahan struktur dan infrastruktur dan juga hal-hal yang menyangkut hukum.

Pembubaran Dolly, saya lihat tidak akan menyelesaikan masalah apapun, dan bahkan hanya akan memperbesar masalah. Dan masalah terbesarnya adalah, tidak ada yang bisa seberapa besar masalah yang ditimbulkan karena penutupan Dolly, karena nantinya semua akan dilakukan secara underground.

Coba pikir lagi.

Saturday, October 12, 2013

Sebelas Tahun Berlalu...

Ya...

Tidak terasa sudah sebelas tahun berlalu semenjak tragedi Bom Bali yang pertama, yang menewaskan ratusan nyawa baik warga negara asing maupun warga negara Indonesia sendiri. Setiap tahun keluarga korban datang untuk memperingati hari di mana saudara, anak, istri, suami, kakak, adik, sahabat, kakek, nenek mereka pergi untuk selamanya. Pelaku sudah ditangkap dan dihukum, keadilan sudah ditegakkan, tapi kerusakan yang sudah terjadi tidak bisa diperbaiki... mungkin untuk selamanya.

Mengenang sebelas tahun Bali Bombing ini membuat saya berpikir. Saya berpikir apakah nyawa ratusan orang ini harus menjadi sia-sia? Dapatkah kita, setidaknya belajar sesuatu melalui kejadian menyedihkan tersebut?

Kalau setelah adanya pengeboman atas nama agama -- yang dilakukan oleh jaringan teroris yang didukung oleh organisasi-organisasi radikal berbasis agama -- ini, pemerintah masih membiarkan ormas-ormas agama melakukan perbuatan anti-toleransi seperti yang terjadi selama ini, bukankah korban-korban pengeboman ini sama saja sudah tewas sia-sia? Bukankah itu sama saja dengan menunjukkan bahwa kita takut pada mereka, dan bahwa ancaman bom yang mereka lakukan ini berhasil membuat pemerintah kita menjadi tunduk terhadap kesewenang-wenangan mereka?

Memang benar sekarang kepolisian melalui pasukan anti teror Densus 88 sudah melakukan pekerjaan sangat istimewa. Melihat dan membaca berita mengenai penggerebekan atau penangkapan para terduga teroris membuat perasaan saya campur aduk, antara merasa takut karena ternyata masih banyak orang-orang yang merasa bahwa mencabut nyawa orang lain itu diperbolehkan oleh agama mereka, dan senang bahwa ternyata para penegak hukum tidak tinggal diam.

Tapi, bagaimana dengan ormas yang terang-terangan melakukan tindak kekerasan di ruang terbuka? Mereka yang terang-terangan menghancurkan lapak orang lain, tanpa memikirkan bagaimana si pemilik lapak dapat menghidupi keluarganya apabila warungnya ditutup. Mereka yang membakar, melempari, dan menyegel tempat beribadah umat beragama lain. Mereka yang tidak tanggung-tanggung merusak bangunan budaya, karya seni, dan juga melarang kegiatan-kegiatan seni tradisional Indonesia karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran salah satu agama saja.

Mengapa mereka dibiarkan?

Bukankah seolah-olah kita membalas "pernyataan" para pengacau radikal yang menggunakan bom untuk mengatakan, "hei, ikuti mau kami atau kami akan mengebom lebih banyak tempat lagi", dengan jawaban "okelah, kami ijinkan buat mengacau dan mengobrak abrik tempat ibadah orang lain, asalkan jangan mengebom lagi".

Saya rasa, pertanggung jawaban kita terhadap para korban Bom Bali yang terjadi sebelas tahun yang lalu, tidak berhenti hanya sampai mengadili dan menghukum orang-orang yang dianggap bertanggung jawab telah menewaskan ratusan nyawa. Kerusakan yang diakibatkan pada kehidupan orang-orang yang ditinggalkan itu permanen. Luka hati yang sudah tertoreh itu tidak akan pernah bisa sembuh selamanya. Pertanggung jawaban kita kepada mereka yang ditinggalkan adalah dengan berjuang supaya orang-orang yang menggunakan tindak kekerasan untuk mencapai tujuan mereka tidak pernah menang,



Bali Bombing

Untuk 202 nyawa yang tidak pernah kembali.
12 Oktober 2002 - 12 Oktober 2013

Wednesday, October 9, 2013

Jokowi for President 2014?

Menjelang pemilu 2014, nama-nama bakal calon presiden sudah mencuat di berbagai media. Dari nama-nama yang sudah veteran di dunia politik seperti Megawati, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Prabowo Subijanto, dan Wiranto; maupun nama-nama yang baru akhir-akhir ini digadang-gadang untuk menjadi pemimpin seperti Gita Wirjawan, Dahlan Iskan, Mahfud MD, Sri Mulyani, Surya Paloh, dan juga Gubernur DKI Jakarta saat ini, Joko Widodo.

Joko Widodo yang juga akrab dipanggil Jokowi ini adalah salah satu nama bakal calon yang selalu mendapatkan angka tinggi dalam beberapa survey calon presiden yang dilakukan oleh berbagai media. Akan tetapi, setiap kali ditanya mengenai hasil survey tersebut, tokoh yang diusung oleh partai berlambang banteng tersebut selalu mengatakan bahwa dia sama sekali tidak berpikir ke arah sana, dan dengan diplomatis putra Solo ini mengatakan bahwa para wartawan sebaiknya bertanya ke Ibu (Megawati) mengenai hal yang bersifat politis, karena Jokowi sedang sibuk mengurusi macet dan banjir ibu kota.

Sebenarnya tingginya respon masyarakat dalam survey ini tidaklah mengherankan. Jokowi dilihat sebagai tokoh yang tidak hanya berani mengambil langkah-langkah yang "melawan arus", namun juga dianggap sebagi tokoh yang mau turun ke jalan dan melihat langsung kondisi yang ada di masyarakat. Beberapa lawan politik terus mengatakan bahwa prestasi Jokowi tidak secemerlang yang diberitakan di media, dan bahwa kepemimpinannya di Solo merupakan sebuah kegagalan karena Solo dianggap sebagai salah satu kota termiskin di Jawa Tengah. Tapi, saya yang tinggal di Solo, kok merasa Solo makin maju saja semenjak Jokowi menjabat, ya?

Fakta-fakta dan kesaksian orang Solo langsung lah yang sebenarnya mendongkrak popularitas Jokowi, terlepas dari berbagai macam statistik yang diberikan oleh lawan politik yang ingin menyerang Jokowi. Hasilnya, bukan hanya rakyat berbalik menyerang, namun popularitas Jokowi malah makin melambung dengan adanya serangan tersebut. 

Tapi, apakah saya akan mendukung Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden tahun depan?

Perasaan saya campur aduk kalau ditanya demikian. Bagaimana tidak?

Sebagai orang Solo yang sudah pernah merasakan kepemimpinan beliau, saya tentu saja ingin seluruh rakyat Indonesia mencoba merasakan itu. Tapi saya merasa bahwa langkah politik tersebut tidak hanya terburu-buru namun juga sangat rawan kejatuhan. Saya merasa pencalonan Jokowi sebagai presiden periode 2014-2019 itu tidaklah bijaksana. 

Saya rasa memang sebaiknya Jokowi menyelesaikan terlebih dahulu masa tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta, selain untuk menambah pengalamannya memimpin dan memperpanjang rekam jejaknya sebagai orang yang dapat dipercaya memimpin, namun juga untuk menunjukkan niat baik dan tanggung jawab dengan menyelesaikan tugasnya sampai habis masa kepemimpinan. Saya juga berharap partai di mana Jokowi berlindung tidak serta merta menggunakan popularitas Jokowi sebagai sarana untuk menancapkan kekuasaan di kursi kepresidenan.

Cuma, saya juga tidak munafik. Apabila Jokowi betul-betul mencalonkan diri, saya tidak yakin saya dapat menahan diri untuk tidak memilih beliau... Hehehe

Thursday, October 3, 2013

Blogger Tolak UU ITE

Sebenarnya penolakan para blogger terhadap UU ITE, terutama pasal 27 ayat 3 bukan lagi hal baru. Semenjak mulai didengungkannya "prototip" UU ITE yang kala itu bernama RPM Konten, atau Rancangan Peraturan Menteri mengenai Konten Multimedia, yang kemudian ditolak, banyak blogger Indonesia yang sudah mulai waspada dengan adanya ancang-ancang pembelengguan kebebasan berbicara di internet.

Tidak bisa disangkal bahwa internet telah menjadi sebuah wadah bagi mereka yang selama ini merasa aspirasinya tidak pernah disuarakan. Hanya saja sayangnya, sebagai sebuah negara yang penduduknya baru saja melek dengan internet, kebanyakan orang masih suka seenaknya melempar pendapat ke dunia maya, tanpa mengetahui dampak yang diakibatkannya. Saya sempat berpikir apabila tujuan dibuatnya peraturan mengenai aktivitas di dunia maya ini dibuat untuk melindungi para pengguna internet yang baru melek dari bahaya maka mungkin saja tidak terlalu buruk.

Yang saya bayangkan mengenai undang-undang internet adalah misalnya, perlindungan kepada anak di bawah umur dari situs-situs pertemanan yang sebenarnya ditujukan untuk kegiatan berinteraksi orang yang sudah cukup dewasa dan dapat bertanggung jawab mengenai informasi yang mereka sebarkan sendiri, demi menjauhkan anak-anak tersebut dari predator yang sengaja memancing anak-anak di bawah umur melalui situr-situs tersebut. Yang saya bayangkan mengenai undang-undang internet adalah misalnya, perlindungan kepada pengguna internet dari cyber bullying, dan perlindungan anonimitas pengguna internet dari human search engine.

Hanya saja, sayangnya hingga saat ini, undang-undang internet sepertinya hanya terfokus pada pemblokiran beberapa website dewasa, dan penuntutan pencemaran nama baik di internet. Yang terakhir ini yang menjadi kekhawatiran bagi para netters di Indonesia. UU ITE pasal 27 ayat 3 itu dinilai oleh banyak pihak sebagai pasal karet yang pada akhirnya akan mengekang kebebasan berbicara dan berpendapat di media sosial.

Pasal ini telah beberapa kali memakan korban. Yang terbaru adalah kasus @benhan, salah satu pengguna twitter yang dilaporkan karena dianggap telah mencemarkan nama baik salah seorang politikus yang pernah diduga terkait dengan kasus Bank Century. Bayangkan saja, untuk menulis satu kalimat terakhir tadi, saya membutuhkan lima kali edit supaya saya tidak dikira sedang mencemarkan nama baik seseorang.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, UU ITE ini juga dapat mencatut mereka yang sedang berkeluh kesah atau curhat di ruang privat. Misalnya, kasus email Prita yang pernah diberitakan besar-besaran di media pada waktu itu. Email seyogianya adalah ranah personal. Email itu menjadi santapan publik gara-gara ada orang yang menyebarkan email tersebut kepada orang-orang lain. Prita tidak pernah dengan sengaja melakukan protes terbuka, melainkan bercerita mengenai apa yang terjadi dengan dirinya di dalam email tersebut. Sungguh sangat menyeramkan apabila hal tersebut membuat dia dituntut atas pencemaran nama baik.

Analoginya dalam dunia non-digital adalah, pada saat anda curhat dengan sahabat anda di sebuah kafe mengenai rambut anda yang mengalami salah gunting di sebuah salon, sahabat anda menceritakannya kepada semua teman-teman kantornya sambil mencantumkan nama anda. Lalu teman-teman sahabat anda menyebarkannya kepada seluruh keluarga dan kolega mereka. Lalu keluarga dan kolega mereka kepada teman-teman arisan mereka. Kemudian beberapa hari kemudian, anda mendapatkan surat panggilan dari pengadilan sebagai saksi atas pencemaran nama baik yang anda lakukan terhadap salon ini.

Atau saat anda menulis diary dan bercerita mengenai betapa tidak enaknya makanan di sebuah restoran. Seseorang menemukan diary anda beserta tanda tangan anda di akhir tulisan kemudian memfoto-kopinya tanpa seijin anda dan membagi-bagikannya sebagai selebaran di jalan. Kemudian sejurus kemudian, anda ditangkap karena diduga telah melakukan pencemaran nama baik terhadap restoran tersebut.

WOW.

Kalau analogi itu terdengar terlalu absurd buat anda, mungkin anda bisa coba bayangkan apabila status facebook atau path anda, atau status Whatsapp atau BBM anda, yang seharusnya hanya bisa dibaca oleh teman-teman anda, di screenshot seseorang lalu disebarkan. Dan kemudian anda mendapatkan panggilan dari pengadilan karena telah dianggap mencemarkan nama baik. Jangan kira hal ini tidak mungkin terjadi... Baru bulan lalu Muhammad Arsyad, ditangkap karena dianggap melakukan pencemaran nama baik gara-gara BBM statusnya menyebut nama politikus yang diduga melakukan korupsi.

Apakah UU ini harus dihilangkan? Saya rasa iya. Atau setidaknya direvisi sehingga tidak lagi dapat digunakan secara sewenang-wenang oleh pihak-pihak tertentu. Saya rasa undang-undang mengenai pencemaran nama baik dan tindakan tidak menyenangkan sudah cukup apabila tujuan UU ITE hanyalah untuk mencegah orang menjelek-jelekkan seseorang atau suatu institusi di ruang publik. UU ITE ini dibuat hanya untuk mencabut gigi dan memotong taring jurnalisme warga (citizen journalism) yang kadang kala lebih berani dan lebih objektif karena tidak ditungganggi oleh kepentingan politik.

Saya hanya berharap supaya kebebasan warga untuk berpendapat di ruang publik tidak dibungkam hanya karena alasan-alasan politis. Kalau politisi takut dicaci di social media, ya jangan berbuat aneh-aneh. Gitu aja kok repot...

Thursday, September 26, 2013

Ulil: Gerakan Puritanisasi Tak Akan Sukses Di Indonesia



Ulil memang salah satu tokoh favorit saya pada saat ini. Saya katakan salah satu karena saya memang punya banyak tokoh favorit, dan saya katakan pada saat ini karena mungkin suatu hari pendapat saya akan berubah. Tapi, saya mengakui bahwa sikap dan pernyataan Bung Ulil ini memang salah satu yang terbaik apabila dibandingkan dengan tokoh-tokoh politik dan negarawan-negarawan lain di Indonesia ini. Saya heran kenapa belum ada saja yang menggandeng Bung Ulil ini untuk menjadi presiden atau wakilnya untuk pilpres tahun depan.

Setelah berbagai pernyataan yang pernah membuat saya terkesima dahulu, lagi-lagi kemarin Bung Ulil membuat pernyataan yang membuat saya makin kagum pada beliau. Di twitter, Ulil mengatakan bahwa gerakan puritanisasi tidak akan bisa sukses di Indonesia -- ini mengingatkan saya adanya protes dari sejumlah warga di Yogyakarta atas pengerusakan makam Kiai Ageng Prawiropurbo yang merupakan cucu dari Sri Sultan Hamengku Buwono VI.

Warga mengatakan bahwa tidak perlu menjadi orang Jawa saat datang ke tanah Jawa, tapi harus menghargai budaya yang sudah ada sejak sebelum mereka hadir di Jawa. Pernyataan warga itu diperkuat dengan gambar seorang demonstran yang membawa tulisan : "Jangan Bawa Budaya Arab Ke Bumi Mataram", yang jujur saja bukan hanya menggelitik namun juga membuat saya menjadi lebih kritis mengamati betapa agama asing yang masuk ke Indonesia ini sudah seharusnya berbaur dengan kearifan lokal.


Cerita wayang pada awalnya adalah kisah yang datang dari India saat Agama Hindu datang ke Indonesia. Setelah datang ke Jawa, maka muncullah yang disebut dengan Punokawan: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong (kalo cerita dari Pasundan maka ada si Cepot, tapi saya tidak tahu apa bedanya. Maaf...). Di Bali, Agama Hindunya sudah tidak sama lagi dengan yang dari India, itu sebabnya agama Hindu dapat tertanam kuat di Bali.

Di agama Katolik di Jawa, pastur dipanggil Romo. Bukan Pastur atau Father yang menggunakan bahasa asing, melainkan Romo yang sama artinya dengan memanggil "bapak". Saya setengah yakin bahwa di negara di mana agama Katolik berasal, atau bahkan di Vatikan di mana agama itu berpusat, tidak pernah ada gong dipukul di dalam perayaan misa. Gong adalah milik budaya Jawa. Cuma di Jawa misa dimeriahkan dengan tabuhan gong.

Maaf saja saat ini saya tidak bisa memberikan contoh lain, tapi saya mengerti betul apa yang dimaksud oleh Bung Ulil. Memaksakan budaya asing masuk ke Indonesia tanpa adanya toleransi terhadap budaya lokal hanya akan menimbulkan bentrok budaya. Sebagai budaya pendatang, tentulah agama asing ini harus luwes menyesuaikan dirinya, dan bukan asal hantam dan merusak kearifan lokal. 

Wednesday, September 25, 2013

Ahok: Dalam Bernegara Konstitusi Lebih Penting Daripada Kitab Suci

Sudah beberapa hari sejak saya membaca artikel tersebut, dan sejak saat itu saya sudah kebelet ingin membuat artikel membahas artikel tersebut. Tangan saya sudah gatal, dan kepala saya sudah panas memikirkan apa yang ingin saya katakan di sini. Hanya saja, semua yang ingin saya katakan sudah dikatakan dengan jelas dan tegas oleh wakil gubernur DKI Jakarta ini. Well said, Mister...

Basuki Tjahaja Purnama yang lebih dikenal sebagai Ahok ini mengatakan bahwa kita suci itu sangat penting dalam beragama, akan tetapi dalam bernegara, konstitusi itu lebih penting. Bukan hanya setuju, tapi saya sangat setuju sekali, terutama dengan penjelasan yang diberikannya.

Negara, seperti Indonesia, mewadahi dan melindungi warga dari berbagai agama. Agama-agama ini memiliki kitab suci mereka masing-masing. Tidak hanya itu, tiap aliran dalam agama ini juga memiliki persepsi dan pemahaman yang berbeda dengan aliran lain meskipun kitab suci yang digunakannya sama. Bagaimana mungkin negara bisa menggunakan kitab suci sebagai dasar mengambil keputusan untuk semua rakyatnya dengan adil?

Mengunakan kitab suci tertentu untuk pengambilan keputusan dalam sebuah negara tidak hanya akan berdampak pada munculnya ketidak puasan golongan-golongan lain yang tidak sepaham, namun juga akan menimbulkan penindasan kepada kelompok-kelompok minoritas. Sekarang saja di Indonesia sudah banyak contoh tindak penindasan kepada golongan agama minoritas, saya tidak bisa membayangkan apabila nantinya negara ini menggunakan salah satu kitab suci sebagai dasar negara.

Ahok sudah mengatakan dengan jelas bahwa negara punya peraturan yang harus ditaati oleh semua warga negaranya. Apapun agamanya, setiap warga negara wajib tunduk kepada konstitusi dan bukan sebaliknya. Mengunakan agama sebagai tameng untuk melanggar hukum itu merupakan tindakan arogansi agama yang secara tidak langsung sudah mencoreng nama agama sendiri di mata penganut-penganut agama yang lain.

Mantan Bupati Belitung itu mengatakan bahwa apabila tidak ada rasa hormat kepada konstitusi, maka akan sulit menyatukan negara Indonesia ini.

Kitab Suci, atau dalam hal ini adalah agama, seharusnya hanya megatur hubungan vertikal, yaitu hubungan manusia dengan kepercayaannya saja. Konstitusi, dalam hal ini adalah negara, adalah satu-satunya yang berhak mengatur hubungan manusia secara horisontal. Waktu SD saja saya sudah diajari bahwa ada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Norma Agama mengatur tentang hubungan manusia dan segala sesuatu mengenai dunia-akherat, misalnya berbuat baik masuk surga. Norma sosial mengatur mengenai baik buruk di lingkungan sosial, misalnya tidak mau bantu-bantu kerja bakti, maka jadi diacuhkan tetangga. Norma hukum yaitu sifatnya mengikat dan hukumannya pasti (kalau melanggar mendapat hukuman dari negara), misalnya: tidak mau hormat bendera, maka seharusnya dianggap makar dan dijebloskan ke dalam penjara.

Bukankah semestinya pembagian semacam itu sudah jelas? Rupanya tidak bagi sebagian orang.

Lalu kita harus bagaimana?

Friday, September 13, 2013

Makan Ga Makan Asal Kumpul

Makan Tidak Makan Yang Penting Kumpul.

Saat saya masih kecil saya mengira itu adalah filosofi orang Indonesia mengenai keluarga. Daripada mengirim anggota keluarga untuk merantau dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, lebih baik berkumpul bersama sebagai satu keluarga yang utuh. Akan tetapi semakin lama saya semakin tidak yakin dengan pemahaman saya itu. Saya pikir saya salah.

Hingga, beberapa hari yang lalu saya mendapatkan pencerahan dari berita di televisi mengenai demo mogok bekerja para pengerajin tempe dan tahu di sejumlah daerah di Indonesia. Di tayangan berita tersebut beberapa orang beramai-ramai melempar satu tampah tahu di tanah, bersama dengan tahu-tahu lain yang sudah berceceran di sana. 

Awalnya saya mengira bahwa mereka sedang membuang tahu-tahu milik mereka sendiri sebagai bukti protes, namun saat pemberitaan berlanjut saya baru tahu bahwa saya lagi-lagi salah. Ternyata para pemrotes tersebut sedang mengacak-acak usaha milik salah seorang pengerajin tahu yang lain, yang tidak ikut mogok bekerja. Betapa kagetnya saya dengan kenyataan tersebut. Kok bisa-bisanya mereka melakukan hal tersebut. 

Alasan mereka: solidaritas.

Mungkin inilah yang mereka maksud dengan makan tidak makan yang penting kumpul. 

Lebih baik kelaparan bersama daripada membiarkan salah satu teman mereka mendapatkan rejeki hasil dari susah payahnya sendiri, untuk digunakan menghidupi keluarga, dan menyekolahkan anak. Demi solidaritas maka semua orang harus ikutan bangkrut meskipun sebenarnya masih bisa usaha sedikit-sedikit memberikan lapangan kerja bagi orang lain dan menjalankan ekonomi daerah. 

Setelah dipikir-pikir bukan hanya kasus tahu dan tempe saja. Bayangkan demo sopir bus atau angkot di Jakarta. Pasti ada mobil angkutan umum yang pada akhirnya dilempari dan dirusak apabila sopirnya tidak ikutan mogok mengemudi. Juga aksi mogok kerja di pabrik-pabrik; yang menolak ikut akan kemudian dicap sebagai pengkhianat.

Abraham Maslow, seorang psikolog dari Amerika membuat sebuah teori yang disebut dengan Teori Kebutuhan. Dalam teori tersebut maslow membagi kebutuhan manusia menjadi lima tingkatan yang berbeda, dari kebutuhan yang paling mendasar (di bagian bawah piramida) hingga kebutuhan aktualisasi diri (di puncak piramida). Kebutuhan dasar adalah kebutuhan fisiologis, seperti uang, sandang, pangan, dan papan. Di level kedua adalah kebutuhan akan keamanan: keamanan finansial, keamanan dalam hubungan keluarga, bebas dari ancaman atau ketakutan. Di tingkat berikutnya adalah kebutuhan untuk menjadi bagian dari sesuatu, organisasi, keluarga besar, grup pertemanan, hubungan percintaan. Tingkat keempat adalah kebutuhan untuk mencapai sesuatu: mendapatkan gelar sarjana, kenaikan jabatan di perusahaan, gelar kebangsawanan. Sedangkan yang terakhir adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri baik itu dalam lingkungan dengan berderma, atau menekuni hobi yang sudah lama ingin dilakukan.

Menurut Maslow, apabila kebutuhan yang dasar belum tercukupi, maka akan sulit untuk bahkan memikirkan kebutuhan level berikutnya. Tentu saja saya mengerti dan malah mendukung orang-orang yang tidak ikut-ikutan mogok bekerja dan lebih memutar otak berjuang menghadapi kenaikan harga untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Siapa yang rela, demi diakui oleh teman-teman sesama pengerajin atau sama-sama pengemudi, lalu membiarkan keluarganya mati kelaparan? Apakah solidaritas itu artinya: mari mati bersama?

Makan tidak makan asal kumpul.

Saya tidak pernah mengerti dengan orang yang menggunakan konsep solidaritas yang pada intinya adalah mengajak semua orang ikut susah bersama dirinya. Pada dasarnya dalam hidup, manusia adalah makhluk individual di lingkungan sosial. Kalau kebutuhan individunya tidak terpenuhi lebih dulu, mana ada waktu untuk peduli dengan lingkungan sosialnya? Saya tidak yakin mereka yang merusak mobil, menghancurkan usaha orang pada saat melakukan aksi mogok itu sebenarnya murni meminta solidaritas kelompok. Jangan-jangan mereka cuma iri saja pada sesama pengusaha yang lebih pintar, lebih berusaha keras dan tidak tergilas kenaikan harga seperti mereka?

Jangan-jangan mereka hanya takut kalau nanti mereka selesai dengan aksi mogoknya, semua pelanggan sudah pindah ke pengusaha yang tidak ikutan mogok tadi?

Apabila harga kedelai tidak sedang bergejolak semacam ini, dan usaha sedang baik, lalu ada satu pengusaha tahu yang kesulitan karena satu dan lain hal, apakah mereka juga akan solider dan membantu pengusaha yang kesusahan ini? 

Ataukah solidaritas itu hanya kata kosong yang dipakai sebagai senjata untuk melarang orang lain menjadi maju dan sukses?

Wednesday, September 11, 2013

Harmonisisasi Bahasa

Timeline saya di Path sedang dipenuhi dengan berita-berita mengenai seorang tahanan dengan inisial VP. Tadinya saya hanya tahu bahwa VP ini ditahan setelah beberapa tahun berada di daftar pencarian orang (DPO), karena tuduhan penipuan. Lucunya orang ini tertangkap setelah seorang jaksa menonton infotainment, di mana VP ini muncul sehubungan dengan pertunangannya dengan seorang pedangdut Indonesia dengan inisial ZG. Hanya saja berita tentang ZG memutuskan pertunangannya dengan VP sehari setelah penahanan VP tidak mendapatkan pemberitaan seheboh pemberitaan mengenai VP sendiri.

Nah, lalu apa yang membuat VP ini sekarang begitu terkenal sampai-sampai memenuhi timeline saya?

Ternyata VP ini sering melontarkan kata-kata yang tidak jelas apa maksudnya. Beberapa kata yang saat ini sudah dipopulerkan oleh laki-laki ini di antaranya adalah: konspirasi kemakmuran, harmonisisasi, labil ekonomi dan kontroversi hati. Bukan hanya dikenal suka membuat frasa-frasa aneh, VP ini juga sering menggunakan bahasa yang terdengar seperti bahasa Inggris dalam pidato-pidatonya. Mungkin ini dilakukannya supaya terlihat pintar, karena (katanya) dia pernah menempuh pendidikan di Amerika.

Saya tidak ingin membahas panjang lebar mengenai si VP ini. Bagi saya dia sudah cukup mendapatkan popularitas dari pemberitaan mengenai pertunangannya, penangkapannya, dan juga cara berbicaranya. Saya tahu bagi sebagian besar orang -- dan juga saya, cara berbicara VP ini terdengar lucu. Tapi mengapa hal ini dianggap lucu?

VP ini hanyalah contoh ekstrim lemahnya pengetahuan sebagian masyarakat Indonesia mengenai bahasa mereka sendiri. Dikatakan sebagai contoh ekstrim, karena gaya bahasa ala VP ini sudah mencapai titik di mana banyak orang Indonesia sendiri tidak mengerti apa maksud perkataanya. Tapi, saya bisa mengatakan meskipun dengan agak tidak rela, bahwa di Indonesia ini tidak sedikit orang yang seperi VP ini. Tidak usah jauh-jauh saya bisa memberikan sedikitnya empat contoh yang pernah saya alami sendiri.

Saat saya masih berada di bangku SMU, salah seorang guru saya menyuruh salah seorang teman saya untuk maju ke depan untuk menjelaskan sesuatu. Saya rasa hingga saat ini, penggunaan bahasa Indonesia dalam lingkup akademik adalah hal yang bukan hanya wajar namun juga wajib dikuasai. Akan tetapi teman saya ini tidak bisa melakukan presentasi formal. Terlepas memang dia merupakan tipikal siswa bandel yang memang tidak mengerti topik pelajaran hari itu, tapi mengingat sedikitnya kosa kata yang dia miliki untuk menjelaskan hal yang sederhana dalam bahasa Indonesia sudah menunjukkan tingkat kemampuan berbahasanya.

Saat saya berada di sebuah kota di dekat Manado, saya membantu dan mengamati murid-murid di salah satu SMP di sana. Dalam pembicaraan sehari-hari mereka selalu menggunakan dialek daerah mereka, yang tentu saja sangat wajar dilakukan. Namun yang membuat saya terkejut adalah reaksi mereka ketika salah seorang teman mereka melontarkan pertanyaan di dalam kelas dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Bukan hanya tertawa, mereka merasa bahwa menggunakan bahasa Indonesia dengan benar itu aneh dan hanya dilakukan oleh orang-orang "tingkat tinggi" saja.

Saat saya mengerjakan skripsi, saya melihat contoh-contoh skripsi dari mahasiswa yang sudah lulus sebagai bahan pendukung. Saat itu saya baru menyadari bahwa skripsi yang tebalnya sekitar lima senti meter itu berisi setidaknya tiga senti meter omong kosong. Memperbanyak kata sambung yang tidak perlu seperti "bahwa supaya", "namun tetapi", "agar supaya", "nara sumber yang saya wawancarai" (kalau tidak diwawancarai apakah namanya masih nara sumber?), "oleh sebab daripada itu", dan masih banyak lagi. Untungnya sekarang saya rasa dosen-dosen saya sudah lebih ketat dalam hal penggunaan bahasa. Saya harap sekarang sudah tidak ada lagi skripsi yang tebal karena penggunaan kata-kata yang tidak perlu.

Ingin kelihatan pintar seperti VP yang dalam berbicara suka menggunakan bahasa Inggris yang selalu salah, juga sering membuat orang melakukan blunder bahasa. Contohnya teman saya yang saat berbicara dengan adik saya dengan sok menggunakan istilah-istilah desain yang mungkin hanya pernah sekali atau dua kali dia baca di majalah. Adik saya yang seorang desainer interior betulan hanya menanggapi ringan saat itu dan mencelanya habis-habisan setelah dia pulang.

Juga bagaimana teman-teman anda mengupdate status di facebook atau BBM dengan bahasa inggris yang sama sekali tidak bisa diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia (atau kalau bisa diterjemahkan artinya jadi jauh berbeda dengan maksud awalnya). Tidak separah VP tentu saja, tapi apakah ada yang menyadari dan menegur orang ini karena hal itu? Saya rasa tidak.

Tapi apakah saya juga bebas kesalahan tata bahasa?

Saya yakin tidak.

Seperti yang saya katakan di awal, kalau ada seorang editor yang membaca tulisan saya ini, dia pasti dapat dengan mudah menemukan di mana kesalahan saya. Saya tidak keberatan dikritik dan diperbaiki, karena saya ingin lebih baik dalam berbahasa. Kemampuan bahasa kita menunjukkan di mana posisi kita di lingkungan sosial. Sering kali saya bahkan masih meminta tolong teman untuk mengecek draft blog saya yang berbahasa inggris supaya kesalahan yang saya lakukan tidak fatal.

VP adalah contoh ekstrim. Kita masih menertawakan videonya di youtube. Tapi sesekali, coba perhatikan orang di sekitar kita, dan bagaimana dia berbicara... jangan-jangan sering salah juga (tapi tidak ketahuan)?



Thursday, July 18, 2013

Cerminan Bangsa Ini?

Baru beberapa hari lalu pernikahan sesama jenis dilegalkan di Inggris. Ratu Elizabeth akhirnya meresmikan undang-undang yang memperbolehkan pasangan sesama jenis untuk menikah di negara kerajaan ini. Dunia menyambut gembira keputusan ini karena pada akhirnya bertambah lagi satu negara yang mengakui scara hukum pernikahan homoseksual. Saya pun gembira... selangkah ke depan untuk kemanusiaan...

Benarkah?

Saat banyak orang menyambut positif undang-undang baru ini, orang Indonesia masih banyak yang mengirim komentar bernada penuh kebencian dan caci maki di media-media yang memuat berita ini. Kebanyakan akan menggunakan kata "dosa" dan "neraka", dan "sodom dan gomorah" dalam komen mereka, namun apabila ada yang mengkritisi maka orang-orang tersebut akan membela diri dengan mengatakan "jangan bawa-bawa agama". Yang lain menyebut pemerintah dan Ratu Inggris sebagai orang-orang tolol dan tidak bermoral, namun tidak bisa memberikan dasar pernyataan mereka; terutama apabila ditantang dengan membandingkan pemerintah Indonesia dengan pemerintah Inggris.

Yang lain tentu saja, membisik-bisikkan doa supaya pemerintah Indonesia selamanya tidak akan pernah melegalkan pernikahan sesama jenis.

Membaca komentar-komentar tersebut tidak hanya membuat saya merasa perlu untuk mengurut-ngurut dada, tapi juga menahan diri untuk tidak tertawa terlalu keras. Pantas saja teman-teman saya di Indonesia bersikukuh untuk meneriakkan "Edukasi! Edukasi! Edukasi!", karena tampaknya memang banyak orang Indonesia yang masih tertinggal di abad 6. Banyak yang perlu dibuat melek bahwa mereka sekarang sudah hidup di abad 21.

Salah satu komentar yang pada akhirnya menginspirasi saya untuk menulis ini berbunyi kira-kira seperti ini: "Untunglah orang-orang ini cuma bisa komen di media lokal seperti ini saja. Bayangkan kalau mereka bisa komen di media internasional atau media Inggris misalnya, bakalan bikin malu orang Indonesia di mata Internasional. Dikiranya semua orang Indonesia adalah produk-produk jaman purba". Komentar lain yang menarik perhatian saya berbunyi kira-kira seperti ini: "Inilah wajah asli orang-orang di Indonesia, yang katanya cinta damai, beragama dan toleran. Tapi aslinya hanya munafik yang manis di depan tapi di belakangnya penuh kebencian".

Ini mengingatkan saya pada komentar tunangan saya sesaat setelah kami menonton "The Art of Killing", beberapa hari yang lalu. Seolah-olah kekerasan, kebodohan, rasisme dan juga tindakan mendiskriminasi golongan minoritas adalah ciri khas nya orang Indonesia. Sampai-sampai dia bertanya kepada saya, "apakah keluargamu aman di Indonesia sana?"

Tentu saja sebagai seorang warga negara yang baik saya berkata padanya bahwa ADA orang Indonesia yang tidak tolol, tidak rasis, dan tidak diskiriminatif. Akan tetapi siapa yang bisa menyalahkan kalau banyak orang berpendapat bahwa orang-orang Indonesia hanyalah sekumpulan barbar bodoh yang tidak tahu benar salah. Siapa yang bisa menyalahkan kalau ada orang yang beranggapan bahwa masyarakat Indonesia tidak ubahnya seperti barisan bebek yang hanya ikut saja orang di depannya tanpa tahu sedang diarahkan menuju ke jurang.

Masyarakat internasional melihat Indonesia berdasarkan apa yang mereka baca di media, dengar di radio, lihat di televisi. Masyarakat internasional mengenal Indonesia melalui pertukaran informasi di internet. Siapa yang bisa menyalahkan kalau di luar sana, yang diingat oleh orang luar adalah bom Bali, teroris, demonstrasi, genocide, dan pemerintahan bobrok. Mereka juga tahu soal banyaknya fundamentalis agama di Indonesia, hanya saja mereka tidak berani terang-terangan mengatakan itu di depan saya.

Beberapa mungkin bangga dengan ini. Merasa sebagai bangsa yang punya sikap. Merasa sebagai bangsa yang punya kepribadian. Hanya saja, tidak ada yang cukup baik hati untuk memberi tahu bahwa sebagai bangsa, sikap dan kepribadianmu itu jelek....

Thursday, June 20, 2013

LSM dan Buruh

Tolong berikan saya pencerahan kenapa LSM sangat getol mengajak buruh untuk berdemonstrasi yang ujung-ujungnya membuat buruh-buruh tersebut mogok bekerja.

Saya sulit mengerti bagaimana sebuah organisasi melakukan gerakan untuk menyalurkan idealismenya, dengan taruhan nyawa orang lain. Mungkin ada kecacatan dalam logika saya, namun saya hanya mengamati, dan melalui penelitian empiris saya, demonstrasi yang dilakukan para buruh dengan cara melakukan mogok kerja ini jarang sekali menuai hasil yang positif.

Jangan salah. Saya sangat setuju kok kalau nasib buruh diperbaiki. Saya juga nggak suka kalau lihat buruh diperbudak dan disuruh bekerja tanpa bayaran. Akan tetapi menuntut bayaran yang berlebihan (mengingat skill buruh kita masih kalah dengan buruh di negara-negara “penghasil buruh”yang lain seperti Vietnam, Filipina dan Cina), rasanya tidak masuk akal bagi pengusaha yang berinvestasi di Indonesia.

Bayangkan kalau para pengusaha dan investor luar sepakat untuk tidak lagi menanamkan modal atau membuka usaha di Indonesia, dengan alasan bahwa lingkungan bekerja tidak kondusif dengan buruh yang terus menerus demo. Bayangkan kalau investor dan pengusaha yang sudah ada di Indonesia menutup pabriknya dan memindahkannya ke negara tetangga. Bayangkan kalau bahkan pengusaha dari Indonesia juga kemudian memilih untuk membuka usahanya di luar Indonesia.

Lalu kalau sudah selesai membayangkan, coba hitung berapa kerugian yang akan dialami negara ini karena berkurangnya pajak dari perusahaan-perusahaan tersebut. Kemudian hitung juga berapa banyak orang yang akan mengalami pemutusan hubungan kerja. Hitung berapa banyak orang yang akan menjadi pengangguran. Hitung berapa banyak keluarga harus turun dari taraf miskin menjadi sangat miskin. Hitung berapa banyak mulut yang harus ditanggung negara... oh tunggu... negara tidak akan menanggung para pengangguran itu juga kan?

Lalu siapa yang akan menanggung pengangguran-pengangguran ini? Siapa yang akan memberi makan pada mereka? Siapa yang akan memberikan penghidupan untuk membayar uang sekolah untuk anaknya, atau biaya pengobatan kalau ada yang sakit? Para aktivis LSM yang tadi berkoar menuntut perusahaan ini itu sampai pada akhirnya tutup semua itu sanggup menanggung semua pengangguran ini? Tidak?

Bukannya saya ini kapitalis, tapi tidak adakah yang sadar bahwa budaya demonstrasi menggalang massa (terutama buruh) untuk mogok kerja ini adalah turunan budaya komunis-sosialis. Nggak percaya? Google gih sana.

Saya tidak mau menghakimi para aktivis LSM ini. Saya rasa mereka hanya sedikit terlalu idealis dan dibutakan dengan harapan bahwa dengan berdemo mereka bisa mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Mereka lupa bahwa yang mereka pertaruhkan di masa depan bukanlah penghasilan mereka, bukan keluarga mereka, bukan penghidupan mereka. Mereka tidak rugi apa-apa kalau perusahaan itu tutup dan karyawannya jadi pengangguran... paling hanya kehilangan satu tempat demo. Tapi bagi karyawan ini, mungkin pekerjaan itu hanya satu-satunya yang dapat mereka lakukan dengan ijazah SD mereka.

Saya juga mengerti ada banyak perusahaan yang dengan sengaja memperbudak dan menekan buruhnya. Akan tetapi apabila ada hal semacam itu terjadi, bukankah tindakan tidak manusiawi semacam itu dapat diadukan dan dituntut secara hukum? Kenapa harus membuat buruh yang sudah tenang-tenang bekerja dan sanggup menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak kemudian harus terancam kehilangan pekerjaan juga?


Tolong beri saya pencerahan. Kenapa?

Tuesday, June 18, 2013

Dana Kompensasi, Perlu atau Tidak?

Gara-gara menonton sebuah diskusi di salah satu televisi swasta tadi malam, saya tergelitik untuk ikutan berkomentar mengenai perlu tidaknya diberikan bantuan dana langsung sementara, yang oleh beberapa politisi disebut dengan BLSM atau juga sempat disebut BALSEM. Apa sih BALSEM ini? Bantuan langsung sementara ini adalah kebijakan pemerintah untuk membagikan uang tunai kepada rakyat yang dianggap miskin atau kurang mampu sebagai kompensasi atas keputusan pemerintah menaikkan harga BBM.

Sekali lagi, sebelum saya memulai pembahasan saya, saya tidak akan menyatakan pendapat saya tentang kenaikan harga bahan bakar minyak di Indonesia. Saya rasa pendapat saya mengenai kenaikan harga BBM tidak relevan dengan pembahasan mengenai BLSM ini meskipun mungkin topiknya bersinggungan.

Maka, langsung saja kita masuk ke pertanyaan semula. Apakah BLSM ini perlu atau tidak?

Bagaimana kalau saya menjawab lagi: perlu untuk siapa?

Saya setuju dengan salah satu tokoh yang berbicara tadi malam bahwa apapun tindakan yang diambil oleh pemerintah, pastilah memiliki dampak politis. Apakah dampak politis tersebut akan menguntungkan atau tidak bagi pemerintahan yang berkuasa saat ini, maka jawabannya sangat relatif kepada bagaimana masyarakat bereaksi terhadap kebijakan yang diambil pemerintah tersebut. Salah satu kebijakan tersebut adalah BLSM ini.

Kalau saya terang-terangan mengatakan bahwa saya tidak mendukung diadakannya BLSM ini nanti saya dikatakan tidak pro rakyat atau biasanya yang tidak mengerti malah bisa menuduh saya sebagai antek-antek kapitalis. Bisa saja mereka menganggap saya tidak punya empati mentang-mentang saya dan keluarga saya tidak butuh disokong oleh BLSM. Yah, BLSM itu duitnya kan dari pajak yang saya bayarkan ke pemerintah tiap tahun juga, jadi saya peduli lah ke mana dan bagaimana duit itu dialirkan.

Memberikan uang tunai kepada rakyat seperti ini membuat rakyat menjadi malas. Malas dalam artian mereka merasa kalau mereka sengsara, maka pemerintah sudah seharusnya memberikan mereka uang untuk makan. Mereka lupa kalau yang dicabut itu adalah SUBSIDI BBM, bukan menaikkan harga BBM. Mereka lupa bahwa uang itu bantuan, bukan tunjangan.

Kalau pemerintah kaya, maka sana berikanlah tunjangan kepada rakyat yang tidak punya pekerjaan. Kalau kas negara sudah surplus melulu, maka sana berikanlah pengobatan gratis kepada rakyat yang tidak sanggup bayar rumah sakit. Kalau sudah punya dana lebih, maka berikanlah tunjangan pendidikan kepada setiap keluarga. Tunjangan hari tua kepada semua warga negara yang sudah pensiun. ITU baru adil. ITU baru keadilan sosial.

Mengambil pajak dan menggelontorkan buat rakyat yang merasa pemerintah bisa disetir, dan diancam, dan ditakut-takuti dengan jumlah suara dan penggulingan rezim? Mana adilnya bagi mereka yang bayar pajak? Di mana adilnya bagi mahasiswa yang sambil bekerja? Apa adilnya bagi guru SD? Apa adilnya bagi middle class yang sama-sama harus ikat pinggang karena merasakan juga dampak kenaikan BBM?

Bagaimana bila tahun depan masyarakat yang sudah dikasih duit ini minta lagi? Sembako naik menjelang lebaran, katanya... maka mereka berhak merampok angpao dari pemerintah lagi? Tentu saja setelah pemerintah mengerat dari middle class worker pajak yang tidak sedikit (pbb, pph, pb1, service tax, pajak kendaraan bermotor, pajak barang mewah, dll). Oh come on. Betul kata bapak saya... orang kaya kami bayar pajak tapi nggak pernah ngerasain langsung hasilnya.