Saturday, November 23, 2013

Keluarkan Saja?

Beberapa waktu yang lalu sejumlah siswa dari sebuah sekolah menengah negeri dikeluarkan karena melakukan pembajakan terhadap sebuah bus di Jakarta. Para orang tua siswa melakukan protes karena mereka tidak terima anaknya dikeluarkan dan harus masuk ke sekolah baru. Alasan protesnya beragam, dari yang merasa tidak rela anaknya dicap sebagai pembajak bus, sampai yang merasa anaknya tidak kerasan di sekolah baru karena tidak punya teman.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tidak bergeming, dan mendukung sekolah yang mengembalikan siswa-siswa yang nakal kepada orang tuanya itu. Alasannya sederhana: Sekolah negeri dibiayai oleh pemerintah. Masih banyak anak lain yang membutuhkan sekolah. Daripada menyekolahkan anak-anak yang lebih suka begajulan di jalan, lebih baik membiayai anak-anak yang benar-benar ingin belajar.

Seperti biasa, meskipun terdengar kasar dan keras, saya rasa kata-kata Ahok ini ada benarnya. Tentu saja saya kasihan dengan orang tua anak-anak ini, akan tetapi daripada melakukan protes dan menyalahkan sekolah seharusnya orang tua ini berkaca. Pendidikan moral tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab sekolah. Siswa bersekolah hanya 8 jam sehari, dan sisanya mereka berada di rumah dan bersama teman-teman mereka. Tentu saja sekolah tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan oleh anak-anak ini di luar jam belajar mengajar di sekolah.

Kalau dibilang mengeluarkan anak dari sekolah dikatakan sebagai tindakan kejam, saya rasa tidak juga. Meningkatkan mutu sekolah memang harus dimulai dari hal-hal semacam ini. Coba tengok sekolah-sekolah yang bermutu tinggi. Jangankan siswa yang membajak bus di jalanan, atau tawuran dengan siswa dari sekolahan yang lain-- siswa siswi yang ketahuan mencontek saja bisa dikeluarkan dari sekolah dengan alasan tindakan indisipliner. Sekolah tidak hanya mencetak siswa dengan kemampuan akademis yang membanggakan saja, namun juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak menjadi lebih baik -- dengan kapasitas mereka sebagai pendidik. Anak didik yang tidak mau dididik sesuai dengan kebijakan sekolah ya silakan kembali saja ke orang tua masing-masing.

Saya tidak bisa menahan geli ketika ada seorang penelepon yang mengomentari di media mengenai hal ini mengatakan bahwa anak-anak itu tidak seharusnya dikeluarkan karena mereka seharusnya ditanggung oleh dana BOS. Dana BOS? Anak-anak itu tidak peduli dengan dana BOS. Mereka bahkan tidak ingin belajar. Mereka ingin di jalan dan menjadi preman, membajak bus bersama teman-temannya.

Saya tidak bisa menahan kesal ketika seorang dari komisi perlindungan anak mengatakan bahwa seharusnya sekolah memberikan pendidikan kepada anak tersebut. Lalu ke mana orang tuanya? Lepas tangan?

Saya tidak ingin anak-anak Indonesia seperti anak-anak luar yang kurang ajar karena orang-orang seperti aktivis anak ini ikut campur dalam urusan sekolah. Di Inggris sana anak-anak dapat dengan leluasa memaki guru atau staf sekolah karena mereka tidak bisa dihukum. Mereka tidak boleh lagi dihukum lari keliling lapangan biar kapok, atau jongkok bediri di depan kelas biar malu. Mereka tidak boleh lagi dijewer atau dicubit, katanya itu kekerasan pada anak. Anak-anak itu tahu bahwa orang tua mereka bisa dihukum masuk penjara kalau menampar anak, meskipun anak itu sudah bicara kurang ajar kepada orang tua mereka.

Melenceng sedikit dari topik memang, tapi saya rasa saya sudah sampai pada intinya. Saya percaya bahwa sistem pendidikan negara ini masih butuh untuk keras kepada anak, tidak untuk menyakiti tapi untuk memberikan pendidikan yang tegas dan bisa dipercaya untuk membentuk kepribadian anak menjadi orang-orang yang waras dan tangguh. Jadi, anak-anak yang membajak bus bagaimana? Keluarkan saja. Anak-anak yang suka tawuran bagaimana? Keluarkan saja. Mahasiswa yang tawuran sampai membakar kampus sendiri? Kalau mereka kan sudah dewasa, laporkan saja ke pengadilan biar dipenjara karena tindakan pengerusakan.

No comments:

Post a Comment