Wednesday, October 16, 2013

Maju Tak Gentar Membela Yang Lemah...?

Saya pasti akan dengan segera menuai segala macam caci maki kalau saya memulai artikel saya kali ini dengan mengatakan bahwa saya merasa bahwa maju tak gentar membela yang lemah itu tidak lebih dari sekedar omong kosong yang hanya membawa negara saya ini ke ambang kehancuran. Tapi tentu saja, saya yakin pembaca saya tidak akan serta merta mencaci saya, namun tentu juga ingin tahu kenapa saya mengatakan hal tersebut.

Sejak kecil saya sudah diajari untuk berani membela yang benar. Saya merasa tidak ada salahnya membela orang yang benar, karena kebenaran memang harus selalu dibela. Namun saat saya mendengar politikus atau orang yang dianggap sebagai pemimpin negara mengatakan bahwa mereka ingin membela orang yang lemah, saya hanya mendengus kesal. Kenapa membela yang lemah? Apakah yang lemah selalu benar?

Kalau hukum memihak kepada yang lemah, maka kebenaran akan menjadi kabur. Orang akan dapat dengan mudah memposisikan dirinya sebagai lemah, tak berdaya, dan tertindas, hanya untuk lari dari tanggung jawab dan hukum.

Contoh saja. 

Seorang pengemudi bajai atau becak sedang berada di jalanan, mengambil jalur kiri yang disediakan untuk kendaraan dengan kecepatan rendah. Di sebuah perempatan dia ingin berbelok ke arah kanan, namun karena becak atau bajainya tidak memiliki lampu indikator yang menunjukkan ke mana dia akan berbelok maka dia langsung saja berbelok, seolah jalanan hanya miliki dia. Sebuah mobil mewah dengan biru putih mentereng melaju dengan kecepatan sedang, di jalur tengah dan berniat untuk berjalan lurus tidak mengira becak atau bajai tersebut akan melintas di depannya tanpa aba-aba. Becak atau bajai tersebut tertabrak dan terguling, sehingga pengemudinya terluka lumayan parah. 

Pertanyaanya: Haruskah pengemudi mobil mewah tersebut turun menolong? Kalau pengemudi mobil mewah tersebut turun menolong, apakah yang akan terjadi pada dirinya? a. dihakimi massa karena sudah menabrak "yang lemah"? b. dipersulit di peradilan karena (1) oknum hakim tidak berani menyalahkan pengemudi becak atau bajaj (yang sebenarnya salah) karena takut dikira menerima sogok atau (2) bertemu dengan oknum yang sengaja ingin mencari "uang rokok" di luar gaji? atau c. pada akhirnya harus mengajak damai yang ditabrak dan mengganti semua biaya pengobatan dan perbaikan kendaraan, serta menyantuni keluarga yang ditabrak karena pengemudi tersebut tidak bisa bekerja selama beberapa bulan -- meskipun pengemudi mobil mewah tersebut tidak bersalah?

Atau... supaya tidak harus mengalami itu, sekalian saja sogok oknum hakimnya supaya tidak terlibat masalah kini dan nanti?

Atau contoh lain.

Pemerintah kota ingin menggusur pemukiman liar di sekitar bantaran sungai karena pada dasarnya pemukiman liar tersebut adalah melanggar hukum. Pemukiman liar di bantaran sungai tidak hanya akan menyebabkan penumpukan sampah rumah tangga di sungai yang pada akhirnya menyebabkan banjir YANG MERUGIKAN SELURUH WARGA KOTA, namun juga mempersulit akses petugas yang ingin membersihkan atau merawat sungai tersebut. Maka pemerintah kota meminta para pemukim YANG TIDAK MEMBAYAR PAJAK BUMI DAN BANGUNAN itu untuk pindah baik-baik, dan bahkan disediakan pemukiman pengganti, yang bersih, dan sehat dan bebas banjir. Warga kota protes, dan meminta ganti rugi yang jumlahnya konyol, dan menuduh pemerintah tidak membela yang lemah.

Pertanyaanya: Haruskan pemerintah tersebut tunduk pada suara mereka "yang lemah"? Haruskah pemerintah mengorbankan kenyamanan warga kota yang lain, yang juga berhak mendapatkan air bersih dan juga kota yang bebas banjir, demi mengabulkan pemukim liar ini? Ataukah pemerintah menangkap dan memenjarakan para pemukim liar yang seenaknya ini karena notabene mereka sudah melanggar hukum dengan mendirikan bangunan tidak berizin, dengan resiko dikecam media yang "membela yang lemah"?

Saya tidak suka dengan pernyataan membela yang lemah.

Saat hukum membela yang lemah, maka hukum akan menjadi rawan praktik penyelewengan. Mereka sebenarnya tidak bersalah tidak akan mendapatkan keadilan karena mereka yang "lemah" akan merasa menang karena mereka dapat secara politis menekan pemerintah untuk "membela wong cilik". Sangat mudah bermain sebagai korban dan menuduh orang lain tidak humanis apabila konsep kebenaran tidak dipertimbangkan saat mengambil keputusan. 

Sudah seharusnya hukum ditinjau ulang. Haruskah yang lemah dimenangkan, dan yang benar mengalah demi alasan politis dan praktek pencitraan? 

No comments:

Post a Comment