Saturday, October 19, 2013

Fakir Miskin Dan Anak Terlantar...

Suatu hari yang cerah, saya dan keluarga sedang dalam perjalanan pulang setelah menikmati makan siang keluarga di sebuah rumah makan di kota. Perjalanan diselingi dengan padatnya jalan terasa menyenangkan, seolah dunia ini adalah tempat yang indah bagi semua makhluk. Di bawah cerah sinar matahari yang tidak terlalu terik berkat awan putih yang memayungi, mobil kami berhenti di sebuah perempatan. Lampu merah menyala, dan sebagai warga negara yang taat hukum, kami menunggu sampai lampu lalu lintas beralih menjadi hijau.

Namun, dalam menit yang panjang itu, seorang wanita berkulit legam karena terbakar matahari, datang untuk mengamen. Yang saya maksud dengan mengamen adalah datang dengan wajah acuh tak acuh, menggoyangkan sebuah alat yang dimaksudkan sebagai perkusi pengiring, dan bercuap sekenanya seolah menyanyikan sesuatu, selama beberapa detik sambil menunggu pengemudi mobil merasa jengah dan memberinya sesuatu. Adik saya yang saat itu mendapat tugas mengemudi melambaikan tangannya, dan segera perempuan itu pergi menuju mobil di belakang kami.

Ayah saya bersungut.

Perempuan itu sehat jasmani. Matanya tidak berkacamata, dan dia cukup kuat untuk berdiri dan berkeliaran seharian di jalan raya, kadang malah sambil menggendong anak kecil. Tubuhnya tidak kurus kering seperti kurang makan, dan wajahnya meski dekil memiliki rona sehat, bukan pucat seperti layaknya orang kelaparan. Dan dari kondisi fisik semacam itu, seharusnya dia bisa bekerja, bukan mengemis.

"Jangan diberi," kata ayah saya. "Sekali diberi, nanti jadi kebiasaan, dan makin lama makin banyak yang cari uang dengan mengemis."

"Tidak diberi pun akan tetap ada yang seperti ini, Pa," adik saya menimpali. "Wong fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, pantas saja mereka tidak habis-habis..."

***

Mekipun saya tidak perlu membela diri saya sendiri, tapi saya merasa saya perlu menjelaskan, bahwa saya tidak anti dengan pengamen. Bukan pengamen seperti pengemis yang saya ceritakan tadi. Yang saya maksud adalah pemusik jalanan yang benar-benar bermusik untuk mendapatkan uang. Saya pernah melihat aksi pemusik jalanan yang membuat band dari alat musik seadanya, menghasilkan musik yang indah dan menghibur. Mereka sopan, dan nampak bersih -- siap untuk tampil. Penonton membayar mereka karena keterampilan mereka memainkan alat musik, bukan karena kasihan atau karena takut mobilnya dibaret dengan paku atau uang receh.

Saya juga keberatan dengan para pengemis yang merasa bahwa para pengemudi mobil sudah selayaknya memberikan mereka sedekah, karena mereka percaya bahwa yang mereka lakukan adalah "pekerjaan halal". Saya pernah mendengar seseorang berkata kepada saya bahwa para pengemis itu merasa bahwa selama mereka tidak mencuri, merampok, menjambret atau melakukan tindak kriminal lainnya, uang yang mereka dapatkan dari mengemis itu halal. Bagaimana dengan pengemis yang membaret mobil orang karena tidak diberi uang? Apakah pemerasan itu termasuk halal juga?

Mengemis adalah pekerjaan orang malas.

Bagi saya tidak ada yang halal dari tindakan manipulatif, memanfaatkan hati nurani orang lain demi kepentingan pribadi. Bagi saya tidak ada pekerjaan yang tidak bisa dilakukan selama seseorang memiliki fisik yang sehat dan tak berkekurangan. Contoh paling mudah, pabrik milik ibu saya selalu membutuhkan karyawan, dan kawan-kawan ibu saya selalu membutuhkan pembantu rumah tangga.

Dan kalau itu tidak cukup, mungkin anda perlu mendengar berita mengenai penolakan pengemis atas tawaran kerja dari Walikota Bandung, Ridwan Kamil.

Ridwan Kamil, Walikota Bandung saat ini berencana untuk menertibkan jalanan di kota yang dipimpinnya dengan meniadakan pengemis. Sebagai solusinya, Walikota menawarkan pekerjaan kepada para pengemis ini sebagai penyapu jalanan, dan menggaji mereka sesuai UMR!! Coba bayangkan, betapa para buruh pabrik akan iri dengan pekerjaan ini. Berapa banyak buruh yang bekerja dengan menggunakan keterampilan seperti menjahit atau bertukang yang dibayar dengan gaji di bawah UMR. Ini para pengemis tanpa keterampilan khusus, ditawari pekerjaan mudah dan digaji sesuai UMR. Dan inilah tanggapan para pengemis:

1. Mereka mendatangi Ridwan Kamil dan menolak pekerjaan tersebut kecuali mereka digaji 10 juta.
sumber:http://news.detik.com/bandung/read/2013/09/30/141830/2373233/486/datangi-ridwan-kamil-pengemis-minta-gaji-hingga-rp-10-juta
2. Mereka protes dan bertanya kenapa Pemerintah Bandung melarang orang untuk bersedekah.
sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2013/10/17/pengemis-bandung-mengapa-melarang-orang-beramal

Saya bahkan tidak tahu harus memulai dari mana untuk menanggapi hal ini. Meminta gaji 10 juta itu apakah masuk akal? Menggaji tukang sapu jalanan dengan UMR saja saya masih bingung dengan perhitungannya, ini minta gaji sama dengan walikotanya. Tapi setelah berhitung-hitung, tentu saja mereka mau minta uang sebanyak itu, karena ternyata penghasilan mereka dari mengemis lebih besar daripada penghasilan mahasiswa S1 yang baru lulus.

Jadi, kalau anda bekerja dengan gaji dibawah 10 juta, pikir-pikir lagi untuk memberikan uang kalian kepada para pengemis ini. Penghasilan mereka lebih besar daripada anda. Mereka tidak butuh uang anda.

Yang kedua, kalau anda ingin beramal, tidak usah beramal langsung kepada pengemis. Datanglah saja ke panti asuhan atau panti jompo, atau kalau anda benar-benar kasihan dengan anak-anak kecil yang dieksploitasi dan tidak diberi makan oleh orang tuanya, beri saja nasi bungkus. Jangan beri uang.

Saya tahu dalam ajaran agama, anda wajib beramal. Tapi anda tidak perlu beramal dengan cara melestarikan pengemis. Fakir miskin dan anak terlantar tidak perlu dipelihara, tapi dinaikkan taraf hidupnya.


sumber:
http://www.tribunnews.com/regional/2013/10/17/ridwan-kamil-penghasilan-pengemis-lebih-besar-dari-gaji-wali-kota
http://regional.kompas.com/read/2013/09/23/0750214/Ridwan.Kamil.Akan.Bayar.Pengemis.untuk.Bersihkan.Bandung
http://www.tempo.co/read/news/2013/10/14/058521649/Digaji-700-Ribu-Pengemis-Bandung-Protes-Wali-Kota

No comments:

Post a Comment