Saturday, October 12, 2013

Sebelas Tahun Berlalu...

Ya...

Tidak terasa sudah sebelas tahun berlalu semenjak tragedi Bom Bali yang pertama, yang menewaskan ratusan nyawa baik warga negara asing maupun warga negara Indonesia sendiri. Setiap tahun keluarga korban datang untuk memperingati hari di mana saudara, anak, istri, suami, kakak, adik, sahabat, kakek, nenek mereka pergi untuk selamanya. Pelaku sudah ditangkap dan dihukum, keadilan sudah ditegakkan, tapi kerusakan yang sudah terjadi tidak bisa diperbaiki... mungkin untuk selamanya.

Mengenang sebelas tahun Bali Bombing ini membuat saya berpikir. Saya berpikir apakah nyawa ratusan orang ini harus menjadi sia-sia? Dapatkah kita, setidaknya belajar sesuatu melalui kejadian menyedihkan tersebut?

Kalau setelah adanya pengeboman atas nama agama -- yang dilakukan oleh jaringan teroris yang didukung oleh organisasi-organisasi radikal berbasis agama -- ini, pemerintah masih membiarkan ormas-ormas agama melakukan perbuatan anti-toleransi seperti yang terjadi selama ini, bukankah korban-korban pengeboman ini sama saja sudah tewas sia-sia? Bukankah itu sama saja dengan menunjukkan bahwa kita takut pada mereka, dan bahwa ancaman bom yang mereka lakukan ini berhasil membuat pemerintah kita menjadi tunduk terhadap kesewenang-wenangan mereka?

Memang benar sekarang kepolisian melalui pasukan anti teror Densus 88 sudah melakukan pekerjaan sangat istimewa. Melihat dan membaca berita mengenai penggerebekan atau penangkapan para terduga teroris membuat perasaan saya campur aduk, antara merasa takut karena ternyata masih banyak orang-orang yang merasa bahwa mencabut nyawa orang lain itu diperbolehkan oleh agama mereka, dan senang bahwa ternyata para penegak hukum tidak tinggal diam.

Tapi, bagaimana dengan ormas yang terang-terangan melakukan tindak kekerasan di ruang terbuka? Mereka yang terang-terangan menghancurkan lapak orang lain, tanpa memikirkan bagaimana si pemilik lapak dapat menghidupi keluarganya apabila warungnya ditutup. Mereka yang membakar, melempari, dan menyegel tempat beribadah umat beragama lain. Mereka yang tidak tanggung-tanggung merusak bangunan budaya, karya seni, dan juga melarang kegiatan-kegiatan seni tradisional Indonesia karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran salah satu agama saja.

Mengapa mereka dibiarkan?

Bukankah seolah-olah kita membalas "pernyataan" para pengacau radikal yang menggunakan bom untuk mengatakan, "hei, ikuti mau kami atau kami akan mengebom lebih banyak tempat lagi", dengan jawaban "okelah, kami ijinkan buat mengacau dan mengobrak abrik tempat ibadah orang lain, asalkan jangan mengebom lagi".

Saya rasa, pertanggung jawaban kita terhadap para korban Bom Bali yang terjadi sebelas tahun yang lalu, tidak berhenti hanya sampai mengadili dan menghukum orang-orang yang dianggap bertanggung jawab telah menewaskan ratusan nyawa. Kerusakan yang diakibatkan pada kehidupan orang-orang yang ditinggalkan itu permanen. Luka hati yang sudah tertoreh itu tidak akan pernah bisa sembuh selamanya. Pertanggung jawaban kita kepada mereka yang ditinggalkan adalah dengan berjuang supaya orang-orang yang menggunakan tindak kekerasan untuk mencapai tujuan mereka tidak pernah menang,



Bali Bombing

Untuk 202 nyawa yang tidak pernah kembali.
12 Oktober 2002 - 12 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment