Monday, June 17, 2013

Mahasiswa Kok Merusak?

Sudah beberapa hari ini saya melihat di televisi berita mengenai para mahasiswa yang melakukan demonstrasi untuk menolak kenaikan harga BBM. Saya tidak akan membicarakan pendapat saya mengenai kenaikan harga BBM sekarang, karena sikap saya mengenai kenaikan harga BBM sama sekali tidak relevan dengan postingan kali ini.

Saya rasa bukan hanya kali ini saja aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa berakhir ricuh dan kemudian diikuti dengen pengerusakan-pengerusakan fasilitas umum. Demonstrasi kenaikan harga BBM ini hanyalah salah satunya. Yang lain? Banyak. Dari demo menginginkan penurunan harga uang semester sampai demo menginginkan gubernur turun. Dari demonstrasi menginginkan pemecatan kepala rektor sampai dengan penggusuran panti pijat.

Okelah, contoh-contoh saya tadi tidak semuanya kenyataan. Tapi kalian tentu mengerti bukan maksudnya?

Saya tidak mengecilkan peran mahasiswa sebagai kontrol paling ideal untuk orang-orang yang duduk di pemerintahan. Begini-begini saya pernah membuat essay yang isinya adalah membahas peranan mahasiswa sebagai kontrol politik, dan melakukan perbandingan antara gerakan mahasiswa di tahun 1966 dan 1998. Saya mengerti bahwa mahasiswa sebagai wakil dari akademisi adalah kelompok paling ideal untuk melakukan kendali apabila masyarakat sudah buta dan dibodohi oleh oknum pemerintah yang bertindak tiran. Dan gerakan semacam itu, saya akan mendukung seratus persen.

Tapi bagaimana dengan gerakan mahasiswa yang hobinya hanya demonstrasi seperti saat ini? Menjadi aktivis bukan hanya modal berani, tapi juga modal akal pikiran. Mahasiswa sebagai wakil dari kalangan akademisi, apa bedanya dengan preman apabila dalam aksinya hanya mengandalkan lemparan batu dan bom molotov? Mahasiswa sebagai wakil dari akademisi, apa bedanya dengan kerbau yang dicucuk hidungnya apabila gerakan mereka tidak lagi dilandasi oleh argumentasi cerdas, melainkan hanya hasil kipasan para provokator?

Saya tidak setuju kalau berita di televisi mengatakan "Aksi demonstrasi mahasiswa berakhir ricuh" sambil menampilkan gambar mahasiswa yang sedang beramai-ramai merusak fasilitas umum atau membakar mobil pelat merah. Mahasiswa macam apa yang bahkan tidak sanggup berpikir bahwa kerusakan fasilitas umum, dan penghancuran mobil dan jalanan itu nantinya akan diperbaiki dan diganti oleh duit rakyat yang ditarik dari pajak.

Gerakan mahasiswa dahulu sanggup mendongkel kekuasaan pemerintah yang dianggap kurang baik pada waktu itu karena mereka punya landasan kuat yang mendasari tidakan mereka. Bukan hanya didukung oleh seluruh mahasiswa lain di Indonesia, gerakan ini juga didukung masyarakat luas karena rakyat dapat merasakan bahwa gerakan ini adalah demi kepentingan mereka juga.

Saat ini? Gerakan mahasiswa hanya menjadi cibiran. Demonstrasi di jalan raya hanya membuat macet lalu lintas. Pengerusakan fasilitas umum tidak lebih dari tindakan vandalisme kekanak-kanakan anak manja yang hanya tahu protes tanpa tahu akar masalahnya. Jangankan mau meminta masyarakat mendukung gerakannya, mahasiswa lain mungkin lebih memilih belajar betul-betul di sekolah supaya lulus, jadi orang berguna, supaya bisa jadi caleg beneran dan mungkin bisa melakukan perubahan yang lebih berarti di kemudian hari.

Saya pernah jadi mahasiswa. Sampai hari ini saya masih sering bernostalgia akan indahnya idealisme kampus. Saya bahkan masih belum sinis terhadap idealisme mahasiswa yang mengharapkan utopia indonesia. Tapi gerakan mahasiswa seharusnya mencerminkan budaya akademis, bukan budaya barbar. Saya rasa turun ke jalan bukan lagi tindakan yang efektif yang mampu menarik simpati siapapun. Yang ada hanyalah kesempatan yang kemudian digunakan provokator untuk membakar emosi dan menyulut kekacauan, atau penjahat yang ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Menyampaikan aspirasi tidak hanya dengan teriakan yel-yel dan orasi di depan gedung. Sekarang ada banyak cara untuk menyalurkan pendapat dan menggalang dukungan. Media tidak lagi disensor seperti dulu, dan dunia digital bisa meraih banyak audiens tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Membuat perubahan tidak berarti harus memulai dari penghancuran fisik. Mahasiswa betulan mestinya tahu hal ini, bukan?

No comments:

Post a Comment