Sunday, December 15, 2013

OSPEK

Tahun 2003 saat pertama kali saya kuliah, Indonesia digegerkan dengan kasus kematian salah seorang praja IPDN pada saat sedang menjalani OSPEK. Sepuluh tahun kemudian, kasus kematian mahasiswa karena tindakan semena-mena yang dilakukan oleh senior mereka pada saat OSPEK masih saja terjadi di Indonesia. Mengapa tidak ada perubahan?

Studi menunjukkan bahwa siswa yang pada awalnya mengalami "bully" atau diganggu di sekolah baik itu berupa kekerasan fisik maupun verbal pada akhirnya akan menjadi orang yang melakukan "bully". Itulah mengapa korban-korban OSPEK kemudian menjadi orang yang "kejam" saat melakukan OSPEK, ketika mereka akhirnya memiliki kuasa untuk "meneruskan" apa yang mereka alami beberapa tahun sebelumnya, saat mereka masih mahasiswa baru.

Apabila pihak kampus tidak menghentikan kegiatan ini sama sekali, saya yakin bahwa rantai kekerasan ini tidak akan pernah putus.

Jujur saja, pada awalnya berita ini tidak terlalu menarik bagi saya. Karena saya sempat merasa bahwa hal ini sudah menjadi hal rutin yang terjadi setiap tahun dan tidak pernah akan bisa berubah. Jujur saja saya merasa pesimis dan cenderung apatis mengenai OSPEK ini. Lebih dikarenakan saya dan adik-adik saya tidak ada satupun yang mengalami OSPEK berlebihan semacam itu. Tetapi mendengar rentetan makian dari ayah saya, membuat saya menyadari sesuatu.

Saya belum punya anak.

Bagi orang tua seperti ayah saya, kasus semacam ini benar-benar kebiadaban yang tidak termaafkan. Bayangkan perasaan orang tua seperti ayah saya, yang membayar puluhan juta untuk memasukkan anaknya ke sebuah universitas, berharap agar empat tahun kemudian anaknya lulus dengan gelar sarjana dan menjadi orang yang berguna, kemudian mendapati anaknya pulang tinggal nama karena OSPEK. Bagi orang tua yang anak-anak perempuannya mengalami pelecehan seksual oleh senior-senior mereka selama mengalami OSPEK, bayangkan perasaan mereka saat mengetahuinya.

Bagi orang tua seperti ayah dan ibu saya, OSPEK ini bukanlah acara meneruskan tradisi. Mereka tidak peduli apakah itu tradisi ataupun pelatihan mental. Bagi mereka acara ini tidak lebih dari pembantaian, dan pembunuhan terencana.

Bagi orang tua seperti ayah dan ibu saya, OSPEK semacam ini hanya bisa dilakukan oleh binatang.

Tapi itu juga yang membuat saya tidak mengerti. Mengapa orang tua- orang tua korban tidak memidanakan panitia OSPEK ini? Mereka jelas pasti sudah berumur 18 tahun ke atas, dan mereka sudah dewasa di mata hukum. Pengaduan delik pidana atas tuduhan pembunuhan akan cukup membawa pelaku ke balik jeruji, dan sekaligus memberikan efek takut dan jera bagi generasi berikutnya untuk melakukan hal yang sama lagi.

Pidanakan mereka!

Saya serukan.

Pidanakan para senior yang semena-mena ini. Pidanakan mereka demi generasi yang akan datang. Pidanakan mereka demi orang tua- orang tua korban yang lain. Pidanakan mereka demi semua orang tua di Indonesia. Pidanakan demi semua korban di Indonesia.


Thursday, December 12, 2013

Pelecehan Atau Bukan?

Sedang gonjang-ganjing Badan Kehormatan DPR ingin memanggil Komisioner Penyiaran Indonesia, Agatha Lily untuk dugaan kasus pelecehan yang dialami beliau oleh empat orang anggota komisi I DPR RI yang pada saat itu sedang melakukan fit and proper test. Pertanyaan yang diberikan kepada mereka yang sedang menjalani fit and proper test tersebut dirasa oleh Komnas Perempuan ada yang bersifat merendahkan martabat perempuan. Meskipun demikian, Agatha Lily sendiri merasa bahwa beliau tidak merasa dilecehkan pada saat menjalani ujian tersebut.

Komnas Perempuan melaporkan adanya tindakan pelecehan yang dilakukan oleh empat orang anggota komisi I yang membidangi penyiaran di Indonesia pada saat melakukan fit and proper test untuk anggota KPI. Pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan yang dimaksud adalah yang bersifat personal, seperti apakah mereka sudah menikah atau belum; bahwa beliau cantik, dan pertanyaan mengenai nomer ponsel beliau. Pernyataan dan pertanyaan tersebut dinilai genit.

Pada saat diwawancara, Agatha Lily sendiri mengaku tidak merasa mengalami pelecehan. Bahkan dia merasa ditekan dengan isu pelecehan ini. Beliau pun menanyakan, apakah dibilang cantik adalah bentuk pelecehan.

Saya bisa mengerti apabila yang bersangkutan tidak ingin disebut sebagai korban pelecehan. Dengan posisi beliau, akan sangat tidak menguntungkan apabila beliau diekspos sebagai seorang korban di media nasional, terlebih lagi apabila beliau benar-benar tidak merasa sedang dilecehkan. Saya tidak mengerti juga kenapa komnas perempuan membawa-bawa nama beliau sebagai korban tanpa lebih dahulu berkoordinasi dengan yang bersangkutan.

Saya sendiri tidak bisa dengan hitam-putih mengatakan bahwa sebuah pernyataan atau pertanyaan adalah bersifat melecehkan. Saya tahu ada beberapa orang yang dengan senang hati "digoda", karena merasa itu adalah salah satu bentuk pujian atas kelebihan fisiknya. Tapi saya juga tahu ada orang yang merasa risih dengan pertanyaan maupun pernyataan yang sifatnya berupa pujian fisik. Tidak hanya perempuan, tapi saya juga merasa laki-lakipun sama.

Bayangkan seorang laki-laki, sedang menjalani fit and proper test, dan diuji oleh sebuah tim penyeleksi yang terdiri dari banyak perempuan. Posisikan juga usia laki-laki tersebut lebih muda dan perempuan-perempuan yang melakukan uji kelayakan tersebut jauh lebih matang daripada laki-laki tersebut. Bagaimana jika salah seorang perempuan itu mengatakan: "Kamu tegap sekali, sehari gym berapa jam?" atau "Parfum kamu wangi, Bvlgari Aqva?" atau "Kamu ganteng begitu kenapa belum menikah?"

Apakah itu pujian? Apakah itu pelecehan?

Saya benar-benar tidak bisa mengatakannya.

Apabila saya berada di posisi orang yang sedang diwawancara, saya tentu saja akan merasa tidak nyaman dengan pertanyaanya. Meskipun dengan dalih bercanda, saya akan tetap merasa canggung karena saya merasa saya tidak cukup dekat dengan sang penanya. Bagi saya pribadi, pertanyaan tersebut meskipun tidak menyinggung masih tetap membuat saya merasa jengah. Tapi saya tahu benar bagi beberapa teman saya, pertanyaan semacam itu adalah bentuk apresiasi terhadap jam-jam fitness dan menit-menit di salon. Saya tahu benar bahwa mereka akan dengan perasaan berbunga tersenyum lebar menanggapi pernyataan mengenai betapa cantiknya mereka.

Tapi...

Saya harus menekankan kata "TAPI" ini.

TAPI, di luar apakah pertanyaan itu merendahkan atau meninggikan, mencairkan suasana atau melecehkan, bercanda atau serius, saya merasa pertanyaan tersebut tidak pada tempatnya. Fit and proper test yang dilakukan oleh komisi I DPR RI itu seharusnya adalah wadah formal. Yang dilakukan selama ujian pun seharusnya bersifat resmi sesuai dengan standar. Segala sesuatu yang mereka katakan di dalam ruang ujian harusnya mencerminkan profesionalitas baik sebagai anggota dewan, sebagai anggota komisi I, maupun sebagai calon komisioner KPI.

Seandainya ternyata mereka memiliki kedekatan sebagai teman di luar itu, bukankah ada waktu lain untuk saling melempar canda. Bukankah ada forum lain yang tidak resmi, ruang dan waktu yang lebih personal untuk menanyakan hal-hal yang sifatnya personal?

Saya tidak memutus apakah benar ini adalah tindakan pelecehan atau bukan. Tapi saya merasa bahwa anggota dewan seyogianya memang harus lebih mengasah profesionalitas mereka. Seharusnya mereka bisa membedakan peran sosial apa yang sedang mereka bawa pada saat itu.

Pada saat fit and proper test itu, mereka adalah penguji. Mereka bukanlah teman dari Agatha Lily. Maka, pada saat itu seharusnya mereka bersikap seperti layaknya penguji, dan bukan bersikap sebagai teman dan melempar canda yang bersifat personal semacam itu.

Bukankah begitu?

Thursday, December 5, 2013

Dokter... Dokter

Sebagai orang yang sering sakit, saya punya kedekatan khusus dengan dokter. Ditambah dengan sejarah kesehatan keluarga yang tidak terlalu baik, dan ada beberapa orang berprofesi sebagai dokter di keluarga besar saya, membuat profesi dokter itu sangat dekat dengan kehidupan keluarga kami juga. Berita mengenai dokter yang melakukan aksi solidaritas kepada rekan seprofesi yang dipidana penjara membuat saya merasa agak sedikit miris.

Mula-mula saya harus memposisikan diri saya dulu; apakah saya setuju dengan putusan MA untuk mempidana tiga orang dokter tersebut, atau tidak? Dari sisi apakah saya mengambil keputusan tersebut? Dan atas dasar apakah saya memilih keputusan itu.

Saya tidak setuju dengan putusan MA tersebut. Saya merasa, profesi dokter, sama dengan profesi sebagai anggota militer dan juga orang-orang yang bekerja di bidang jurnalistik ini sangat rawan karena batas antara benar salah sangatlah kabur. Tidak semua orang dapat memahami kode etik profesi yang dibawa oleh profesi-profesi semacam ini. Misalnya apabila seorang tentara menolak untuk melakukan perintah atasan untuk menyandera seorang sipil, tindakannya tidak bisa hanya dibawa ke pengadilan biasa, namun harus dilakukan di pengadilan militer. Misalnya seorang jurnalis melakukan tindakan investigasi yang kemudian berhubungan dengan rahasia negara, apakah dia dapat dituntut dengan pengadilan biasa? Saya rasa, profesi dokter juga demikian...

Tidak hanya profesi dokter ini berhubungan dengan nyawa manusia, namun dokter juga memiliki pertimbangan medis yang tidak dapat dengan mudah dijelaskan kepada orang awam. Apa yang menyebabkan seorang dokter mengatakan bahwa kemungkinan berhasil delapan puluh persen, atau dua puluh persen? Apa yang membuat dokter mengatakan bahwa operasi lebih baik daripada kelahiran normal? Saya rasa semua itu tergantung dari kondisi pasien pada saat itu, dan faktor x yang tidak terduga yang dapat terjadi kapan saja.

Saya tidak membela dokter yang didakwa bersalah itu. Saya tidak tahu benar apakah mereka betul memalsu tanda tangan, atau menyalahi peraturan. Tapi saya rasa dokter ini seharusnya tidak langsung dibawa ke pengadilan karena hakim tidak memiliki dasar pengetahuan medis. Hakim tidak akan bisa mengerti kondisi apa membutuhkan tindakan medis apa.

Satu hal lagi. Katakanlah saya memang sinis dan penuh curiga. Tapi keputusan MA yang kontroversial ini tidak jauh berbeda dengan keputusan MA saat mendakwa Angelina Sondakh. Keputusan ini bagi saya lebih bermuatan politis daripada manusiawi. Saya rasa keputusan ini hanyalah tindakan diplomatis untuk "menyenangkan" pihak yang dianggap berada di posisi lemah, sebagai orang awam, dan mengorbankan logika yang seharusnya dipakai untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya. Lagipula, apabila dokter ini memang memalsu tanda tangan, hukumannya mestinya adalah karena pemalsuan, bukan karena menghilangkan nyawa orang karena tindak kelalaian.

Pada hari rabu minggu lalu, saya pergi ke rumah sakit untuk menemui dokter saya. Dokter saya tidak ada di tempat. Untung tidak darurat, sehingga saya pulang dan kembali lagi hari minggunya. Kali ini ada dokter di sana dan saya pun bertanya apakah beliau saat itu sedang melakukan aksi solidaritas sehingga tidak ada di tempat saat jam kerja. Beliau bilang bahwa meskipun poliklinik tutup, namun UGD tetap terbuka lebar untuk siapa saja. Ini bukan aksi mogok, katanya...

Saya rasa putusan hakim MA tersebut membuat semua dokter di Indonesia menjadi khawatir atas keselamatan mereka bekerja sebagai dokter. Kebanyakan pasien di Indonesia tidak tahu banyak mengenai kesehatan mereka sendiri. Mereka tidak punya rekam jejak medis yang lengkap yang dapat diakses online seperti di luar negeri. Mereka tidak tahu apakah mereka punya alergi khusus atau apakah operasi gusi harus disebutkan apabila mereka ditanya mengenai pernah tidak menjalani operasi. Hal ini membuat dokter tidak tahu apakah suntikan yang mereka berikan akan menyebabkan reaksi alergi, atau menjadi fatal pada pasien.

Tidak lama setelah putusan ini dibuat oleh MA, media beramai-ramai memberitakan tentang dugaan malapraktik di berbagai macam daerah. Aji mumpung, kalau menurut saya. Inilah juga yang dikhawatirkan oleh dokter di Indonesia, saya pikir.

Dokter adalah profesi yang seharusnya mendapatkan kepercayaan penuh dari pasien. Dugaan malapraktik, benar atau salah, adalah sebuah kejadian yang dapat mencemari nama baik seorang dokter. Bagaimana dokter dapat bekerja kalau orang tidak lagi percaya kepadanya? Bagaimana dokter Indonesia bisa bekerja kalau tidak ada jaminan hukum yang membuat mereka merasa aman dalam mengambil keputusan untuk pasien? Saya rasa, kalau tidak ada tindakan cepat dari pemerintah, dokter-dokter pandai kita bakalan hengkang ke negara tetangga.

Percaya atau tidak, perkerjaan dokter ini masih langka di dunia. Di mana pun negara itu butuh dokter, bahkan negara maju macam Inggris pun masih terima dokter asing kalau ada yang mau bekerja ke sana. Hanya perlu tes penyesuaian saja. Jadi, tolong dong, hukum di Indonesia jangan hanya melindungi "rakyat kecil" saja. Yang tidak kecil memangnya bukan rakyat Indonesia juga?